π
Tema KELUARGA
π
Pemateri: Ust. DR. Wido Supraha,ST
π
Pernikahan, Cara Allah SWT Memuliakan Wanita (bag-2, selesai)
πΏπΊπππΌππ·π
Materi
bag-1 bisa dibaca melalui tautan berikut ....
http://www.iman-islam.com/2015/12/pernikahan-cara-allah-swt-memuliakan.html?m=1
Pernikahan
adalah cara Allah Swt memuliakan setiap wanita beriman nan berakal. Ia
menjadikan dasar iman untuk bergerak dan membuat pilihan kehidupan sehingga ia
meraih kemuliaan dengannya. Pilihan untuk menikah setelah kehadiran niat untuk
menjadi wanita mulia tentu akan mendapatkan kemudahan dan kebaikan dalam
seluruh urusannya. Ada saja kemudian cara Allah Swt meninggikan maqam wanita
mukminah agar ia tetap berada dalam kemuliaannya, bersama ilmu dan penghayatan
dalam ber-Islam.
Pernikahan
sejatinya untuk menguatkan keimanan yang telah bersemayam di dalam dada,
sehingga memperhatikan keimanan pasangan akan mendukung pemuliaan
wanita.[1] Ia merupakan ikatan suci yang tidak layak dirusak dan dianggap
sebelah mata, sehingga wanita yang diceraikan sebelum disentuh ditetapkan
untuknya ½ dari mahar yang telah dikabarkan, tanpa kewajiban
idah.[2] Benar bahwa Islam memberikan jalan keluar untuk dapat menikahi
wanita lebih dari satu, namun prinsip keadilan akan memberikan suaminya
keselamatan di dunia dan akhirat.[3] Mahar adalah satu di antara bentuk
keseriusan tekad untuk menjaga kemuliaan wanita.[4]
Pernikahan
sejatinya untuk mendapatkan sepasang manusia yang berkualitas dan siap
menggapai ridho Ilahi. Ingatkah kita bagaimana Nabi Syu’aib a.s. menguji
kualitas Nabi Musa a.s selama 8-10 tahun lamanya, sebelum akhirnya dia yakin
untuk menjadikannya suami untuk anak wanitanya tersayang?[5] Sedemikian
ketatnya seleksi pasangan hidup sehingga tidak diharapkan terlintas sedikitpun
keinginan berpisah, bahkan perpisahan menjadi dipersulit agar pernikahan tidak
dianggap permainan.[6]
Pernikahan
sejatinya untuk menjaga keberlangsungan bahkan kebaikan nasab atau jalur
keturunan anak manusia yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan, meski di
antara hikmahnya juga menjaga keselamatan dan kesehatan
individu.[7] Ingatkah kita bagaimana Nabi Luth a.s. menawarkan
wanita-wanita negerinya yang memiliki keimanan yang kokoh untuk menjadi sebab
lahirnya kesadaran bahwa homo seksual adalah penyakit kejiwaan yang dapat
disembuhkan dengan mudah ketika manusia mampu menata persepsinya terhadap
sesuatu?[8]
Pernikahan
sejatinya adalah capaian utama pertama dari seluruh upaya penjagaan kehormatan diri
untuk meraih ampunan dan pahala yang amat besar.[9] Ia merupakan buah
kesuksesan yang penuh kesucian, sehingga dengannya ia akan dikaruniakan
kemampuan untuk meraih capaian utama berikutnya.[10] Jika ini menjadi
paradigma awal berpikir maka kelanjutan upayanya akan penuh dengan keberkahan.
Pernikahan
sejatinya adalah cara Allah Swt untuk melihat sejauh mana implementasi kebaikan
dari ilmu yang telah diwariskan Rasul-nya yang mulia. Ikatan suci ini telah
diawali tanpa unsur paksaan, maka keridhoan keduanya melahirkan kemuliaan
cinta. Begitu mulianya, sehingga setiap pemberian suami kepada wanita tidaklah
untuk ditanyakan apalagi dimintakan kembali, karena telah jelas hak
masing-masing sebagaimana kewajiban di antara keduanya.[11] Kemuliaan
cintalah yang kemudian menghadirkan bentuk komunikasi paling efektif di antara
sepasang manusia yang akan hidup bersama hingga ajal menjemput mereka.
Komunikasi efektif adalah ciri kesiapan manusia dalam menghadirkan solusi
terhadap seluruh problematika pasca pernikahan.[12]
Pernikahan
sejatinya adalah wujud kesiapan wanita untuk mengandung seorang calon mujahid,
dan kesiapan untuk menikmati kelemahan yang bertambah-tambah selama kandungan
di dalam tubuh. Ia siap menjadi mujahidah bahkan syahid di jalan Allah dengan
jihad di saat melahirkan karena kepasrahan penuh hanya kepada Allah semata. Ia
siap memberikan waktu-waktu berharganya di dunia untuk tujuan akhirat dimulai
dari fokus dan konsentrasinya untuk menyusi sang mujahid baru selama dua tahun
lamanya atau tiga puluh bulan.[13]
Sekali
lagi, pernikahan adalah bukti bahwa wanita siap melahirkan generasi rabbani,
dengan peluh tanpa henti dalam mentarbiyah keturunannya. Ia bak madrasah ilmu
yang mengalirkan ilmu tanpa pernah surut dan mundur karena ia semakin dekat
dengan derajat tinggi di sisi Allah Swt. Ia ingatkan pasangan hidupnya untuk
sentiasa berdo’a saat awal sekali ikhtiar mereka untuk memperbanyak generasi
penyembah dan pejuang agama Allah dengan berdo’a, “Allaahumma jannibnaa
asy-syaithaan, wa jannibi asy-syaithaanu maa razaqtanaa”, agar kesucian terjaga
sentiasa dari sentuhan syaithan laknatullah ‘alaihim. Ingatkah kita
bagaimana istri ‘Imran a.s. menadzarkan anaknya agar kelak menjadi wanita
shaleh dan pelayan Allah Swt?[14]Ingatkah kita bagaimana keyakinan penuh
keluarga Zakaria a.s. akan iradah Allah Swt memberikan keturunan
untuk mereka agar dapat mereka bina menjadi sosok pejuang Islam padahal sang
istri sudah tua dan dianggap mandul? [15] Ingatkah kita bagaimana
Maryam a.s. tetap dalam prasangka baiknya kepada Allah Swt dengan ujian yang
sangat berat untuk ukuran seorang wanita dengan dilahirkannya anak tanpa ayah
biologis? Namun justru ketegaran dalam ujian Allah Swt itulah yang kemudian
menjadikan Maryam a.s, saudara Harun a.s. ini, sebagai wanita yang paling mulia
di masanya.[16]
Semoga
bersama kesabaran seluruh wanita mukminah, kedalaman penghayatan terhadap
ajaran Islam secara sempurna, kesungguhan untuk meraih kesuksesan akhirat,
Allah memudahkan langkah setiap wanita untuk menjadikan diri dan pasangan
hidupnya sebagai hamba-hamba yang dicintai Allah Swt dan dikumpulkan kelak di
Surga-Nya Allah Tabaraka wa Ta’ala. (selesai)
[1] Lihat
Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 221, An-Nur [24] ayat 3, Al-Mumtahanah [60] ayat 10
[2] Lihat
Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 235-237, Al-Ahzab [33] ayat 49
[3] Lihat
Q.S. An-Nisa [4] ayat 4, 129
[4] Lihat
Q.S. Al-Maidah [5] ayat 5
[5] Lihat
Q.S. Al-Qashash [28] ayat 27
[6] Lihat
Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 230-232
[7] Lihat
Q.S. An-Nisa [4] ayat 22-25, Al-Ahzab [33] ayat 37, Ath-Thalaq [65] ayat 4
[8] Lihat
Q.S. Al-Hijr [15] ayat 66-71
[9] Lihat
Q.S. Al-Ahzab [33] ayat 35
[10] Lihat
Q.S. Al-Maidah [5] ayat 5, An-Nur [24] ayat 32-33
[11] Lihat
Q.S. An-Nisa [4] ayat 19
[12] Lihat
Q.S. An-Nisa [4] ayat 128
[13] Lihat
Q.S. Luqman [31] ayat 14, Al-Ahqaf [46] ayat 15, Al-A’raf [7] ayat 189, Ar-Ra’d
[13] ayat 8
[14] Lihat
Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 35-37
[15] Lihat
Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 38-41
[16] Lihat
Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 42-47, [19] ayat 16-39, Al-Anbiya [21] ayat 91,
At-Tahrim [66] ayat 12
πΏπΊπππΌππ·ππΉ
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
sumber : kajian Iman dan Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar