π QURAN DAN TAFSIR
π Pemateri: Dr. Saiful Bahri, M.A
π Tadabbur QS. Al-Mulk (Bag-2)
πΉBILIK-BILIK PRESTASI
πΏπΊπππΌππ·ππΉ
Kembali
ke permasalahan ujian. Bahwa proses penghargaan untuk yang menjadi terbaik
adalah kedua sisi penciptaan Allah. Hidup dan mati. Semasa hidup manusia
mengukir prestasi untuk dinikmatinya setelah ia mati. Jika hanya kehidupan,
maka hasil ujian takkan pernah diumumkan. Sebaliknya, jika hanya ada kematian,
maka takkan pernah ada ujian; apalagi penghitungan dari ujian itu.
Standar
kelulusan ujian ini adalah; yang terbaik (ahsanu ‘amalΓ’). Bukan mereka yang
banyak bicara. Bukan mereka yang banyak berbuat. Tapi mereka yang bagus dan
benar amalnya. Dimensi –paling- bagus ini mencakup berbagai lini kehidupan.
Dari aspek spirit, berupa kejernihan dan kebeningan hati. Dari aspek lainnya,
kualitas dan profesional. Keberhasilan aspek pertama, akan membantu –sedikit
banyak- keberhasilan aspek kedua.
Dalam
usaha membuahkan kerja produktif dan profesional yang jujur –jika boleh
dibahasakan demikian- maka akal manusia berperan untuk mewujudkan prestasi ini.
Karenanya
sangat pantas jika kemudian akal ini dijadikan salah satu sarana pembantu
kekhilafahan manusia di bumi.
Namun,
ada hal lain yang kadang membuat manusia yang lemah lagi bodoh ini untuk
mendewakan akal. Ia dijadikan satu-satunya sandaran yang dikultuskan. Bahwa
akal adalah segala-galanya. Padahal akal ini juga sebagaimana hati, digunakan
sebagai sarana kekhilafahan yang dibimbing dan dipedomani dengan ajaran yang
dibawa seorang rasul Allah. Akal tidak untuk didewakan dan dikultuskan,
sebagaimana hati dan perasaan tidak pula untuk diperturutkan secara emosional.
Maka
al-Quran tak pernah memuat secara langsung kata “al-aqlu” (akal); ini
dimaksudkan –walLΓ’hu a’lam”– agar kita juga tidak terlalu mendewakan akal. Yang
dipuji Allah adalah proses menggunakan akal. Dianjurkan dan dijadikan sarat
meraih prestasi dan posisi yang tinggi di sisi-Nya sebagai orang yang beriman
dan berilmu.
Pengkultusan
akal ini suatu saat bisa mengakibatkan pengkultusan diri. Pada saat kekuasaan
dan harta digenggam. Pada saat tak ada orang yang berani mengatakan tidak untuk
melawan keputusaannya. Pada saat semua orang terdiam, bungkam oleh
keterpaksaan. Saat itulah firaun-firaun Musa menjelma menjadi dzat yang merasa
besar. Congkak namun dungu “…(Seraya) berkata: “Akulah Tuhanmu yang paling
tinggi”. (QS. 79:24)
Orang-orang
yang gagal itu akan enggan bila diajak berpikir. Siapa yang mendatangkan badai
atau hujan batu? Apakah kalian merasa tenang-tenang saja dari ditimpa hal-hal
seperti itu di bawah langit? Langit siapakah itu?
Ketika
Allah menjadikan bumi ini sebagai tempat tinggal manusia, ia seolah tidak
pernah merasa bahwa bumi ini berputar dengan cepatnya. Di samping itu bumi dan
beberapa planet di sekelilingnya juga berputar lebih cepat mengelilingi
matahari sebagai pusat peredaran planet-planet. Pernahkah ia berpikir?
Pernahkah manusia membayangkan, air laut yang sangat banyak itu mengapa tidak
tumpah? Dan semua penghuni bumi juga tidak terlempar dengan kecepatan
perputaran tersebut. Siapakah yang menjadikan hal tersebut?
Lihatlah
burung ketika terbang. Saat mengembangkan dan menahan sayapnya. Siapa yang
menahannya berada di udara di atas kita.
Siapa
yang memberi rizki? Menjodohkan dan mengabulkan berbagai permohonan?
Siapa
yang menghidupkan dan mematikan. Mencipta kehidupan sekaligus mencabutnya dan
menjelmakan sebuah kematian sebagai gantinya?
Siapa
yang menjadikan bumi ini laik untuk dihuni para khalifah Allah. Yang sekaligus
ditugaskan memakmurkannya serta menikmati segala fasilitasnya.
πKatakanlah: “Dia-lah yang menciptakan kamu dan
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. (Tetapi) amat sedikit
kamu bersyukur. (QS. 67:23).
Benar;
sungguh sedikit yang mau mengerti dan paham serta menyukuri segala fasilitas
ini.
Bukankah
dengan ini manusia sudah cukup diajak berdialog dengan sangat demokratis.
Sebelum jatuh vonis kelak di hari yang tak ada perbantahan di sana. Karena
hanya ada sebuah kesaksian yang jauh dari rekayasa. Kesaksian yang berbicara
dengan titah kejujuran.
Sangat
adil. Dia mengaruniai manusia pendengaran, penglihatan serta hati untuk
membalance akal. Sekaligus menyempurnakan perangkat dan peralatan menempuh
ujian. Adapun sarana dan perangkat lain; manusia dianjurkan untuk berinovasi
serta kreatif menemukan dan menggunakannya.
Setelah
itu, dengan keterbukaan akal dan wawasan; kita tahu bahwa lahan prestasi dalam
hidup ini sangatlah luas. Berbuat apa saja bisa dijadikan sebagai lahan
peningkatan poin dalam buku prestasi amal. Bahkan tidur dan makan pun sebagai
pemenuhan di antara insting manusia bisa diframe dalam bingkai prestasi. Dengan
niat yang baik. Secara vertikal kepada Sang Pemilik hidup dan mati, kita tahu
berinteraksi. Kepada diri kita, kita juga tahu dan paham. Serta kepada apa dan
siapa saja di sekeliling kita, semua ada cara interaksinya.
Semua
bisa dibingkai untuk meningkatkan raihan prestasi kita. Dengan kesungguhan. Dan
dengan kecerdasan akal kita. Serta dengan kekuatan bashirah. Setelah itu,
laluilah. Jalanilah kehidupan ini apa adanya. Kelak kita hanya tinggal menuai
hasilnya.
Bersegeralah
isi bilik-bilik prestasi itu. Sebelum semuanya menjadi terlambat. Dan tiada
guna lagi sesal saat itu.
π“Katakanlah:”Terangkanlah kepadaku jika sumber
air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir
bagimu?”. (QS. 67:30)
Sedang
para hamba-Nya yang berprestasi hari itu, akan diberi nilai bermacam-macam dan
berbeda sesuai dengan amalnya. Pada hari itu mereka dihargai dengan derajat
yang bertingkat-tingkat. Siapakah yang beruntung saat penyematan prestasi itu
dilakukan di depan Allah, para malaikat; penghuni langit. Jin dan manusia,
serta para penduduk dunia dari berbagai penjuru dan dari setiap masa. Akankah
kita termasuk salah satu dari mereka? WalLΓ’hu al musta’Γ’n.
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
sumber : Kajian Iman dan Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar