Aliran Mu’tazilah
A. Munculnya golongan atau kelompok
Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah
oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini
adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini
dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan
mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli
kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah
berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti
juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk
ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut
Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai
kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah,
Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang
mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian
masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis
seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah
II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah
yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak
versi.
B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah
Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama
yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang
dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah
(yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham
peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin
ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan
sifat-sifat Tuhan.
Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H),
seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama
di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan
dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam
aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya
pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi
madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan
dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng
madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang
filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk
menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat
uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha
Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan
Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah
Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk
menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat
(dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu
kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa
Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang
baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi
perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan
tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain
itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan
al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai
kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai
sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau
dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa,
berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu
tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni
kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah)
dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para
rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang
terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak
berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari
gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim
kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang
mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia
berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan
tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga
mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran
terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah
(retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam
adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar.
Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim. [1]
Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan
al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan
hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan
oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin
Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan
pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan
bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau
accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum
alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang
dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan
hasil ciptaan Tuhan.
Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang
penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya
tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia
belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi
lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat
atas dosa besarnya yang terdahulu.
Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar
dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya
yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua
orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di
akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati
berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada
wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya
menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki
surga dan neraka.
C. Beberapa Versi Tentang Nama
Mu’tazilah
Beberapa versi tentang pemberian
nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara
wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah.
Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid
Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri
tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil
mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada
posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian wasil
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan
mesjid. Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya.
Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari
kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri
dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh
Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab,
diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara
mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan
diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu
tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan
Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra
Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid
Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah
majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan
majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini
kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan
tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan
peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah,
katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain
al-manjilatain). Dalam artian mereka member status orang yang berbuat dosa
besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
C. Ajaran yang Diajarkan oleh
Golongan Mu’tazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan
oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka
maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari
Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak
(masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap
kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi
hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka
terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi
(mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama
Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan
landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d)
bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan
ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar
dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah
untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis
daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah. dalam
pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum
rasionalis Islam”.
Aliran mu’tazilah merupakan aliran
teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan
penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari
filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah
Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah,
bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih
pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan
peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan
bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan
Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar