Rabu, 16 Desember 2015

Perennialisme


Jurnal Filsafat Pendidikan
Filsafat Perenialisme dan Implikasinya Terhadap Pendidikan

A.       Latar Belakang
Secara umum watak dari Perenialisme terkandung dalam makna asal kata, yaitu “Perennis” (bahasa Latin) atau “perennial” (bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus didalam waktu, hidup dari waktu ke waktu, atau abadi. Penganut Perenialisme percaya mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Atas dasar itu, penganut Perennialisme memandang pola perkembangan kebudayaan sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang pernah ada sebelumnya.
Perennialisme muncul atau berkembang sebagai reaksi dan solusi yang diajukan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut sebagai krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Seperti dikutip oleh Mohammad Noor Syam (1984), Brameld menyatakan : “ ... kaum Perennialisme mereaksi dan melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi dalam abad modern ini dengan mundur kembali kepada kepercayaan-kepercayaan yang aksiomatis, yang telah teruji tangguh, baik mengenai hakikat realitas, hakikat pengetahuan maupun hakikat nilai, yang telah memberi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya.
Perennialisme mempunyai kesamaan dengan Essensialisme dalam hal menentang Progresivisme, tetapi Perennialisme berbeda dengan Esensialisme, antara lain dalam hal prinsip Perennialist yang religius (Theologis), yang sekalipun ada perenialist yang sekular, namun mereka merupakan minoritas dalam Perennialisme.

B.        Filsafat Pendukung/ Yang Melandasi
Gagasan-gagasan Perennialisme merupakan integritas antara asas-asas filosofi Yunani Klasik dengan asas-asas religius Kristen yang berkembang pada abad pertengahan. Perennialisme dilandasi atau didukung oleh filsuf Yunani Klasik, yaitu Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Adapun pada abad kedua puluh Perennialisme dipengaruhi dan didukung oleh filsafat Humanisme Rasional dan Supernaturalisme Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh seperti Robert M. Hutchins, Mortimer J. Adler, dll. Mempunyai reputasi internasional sebagai Perennialist.

C.        Pandangan Filsafat Umum  yang Melandasi
1.      Pandangan Ontologis
Menurut Perennialisme, manusia terutama membutuhkan jaminan bahwa “realitas bersifat universal-realitas itu ada dimana pun dan sama disetiap waktu”. Realitas bersumber dan bertujuan akhir kepada realita Supernatural/Tuhan (asas supernatural). Realitas mempunyai watak bertujuan (asas teleogis). Substansi realitas adalah bentuk dan materi (hylemorphisme). Dalam pengalaman, kita menemukan individual thing. Contoh : batu, rumput, orang, sapi, dll. Dalam bentuk, ukuran, warna, dan aktivitas tertentu. Didalam individual thing tersebut kita menemukakan hal-hal yang kebetulan (accident). Contoh : batu yang kasar atau halus, sapi yang gemuk, orang berbakat olahraga, dsb.
Tetapi didalam realitas tersebut terdapat sifat asasi sebagai identitasnya (essensi), yaitu wujud hakikat suatu realita yang membedakan dia  dari benda-benda. Contoh orang atau Ahmad adalah makhluk berpikir. Esensi tersebut membedakan ahmad sebagai manusia dari benda-benda, tumbuhan dan hewan. Inilah yang universal – dimana pun ada dann sama disetiap waktu.
2.      Pandangan Epistemologis
Sebagai makhluk berpikir, manusia akan dapat memperoleh pengetahuan tentang diri kita dan dunia sebagaimana adanya.  memang perennialisme mengakui bahwa impresi atau kesan melalui pengamatan tentang individual thing adalah pangkal pengertian tentang kebenaran. Tetapi manusia akan memperoleh tahu (pengetahuan) lebih tepat jika bersandar pada asas-asas kepercayaan da batuan wahyu; dan itulah tahu dalam makna tertinggi, yang ideal. Prinsip self-evidence amat penting dalam perennialisme, sebab self-evidence ini merupakan asas bagi suatu kebenaran dan untuk membuktikan kebenaran.
Berpikir dalam rangka memperoleh pengetahuan yang benar hanya mungkin atas dasar hukum-hukum berpikir secara deduktif (syllogisme). Tetapi hukum berpikir induktif pun digunakan, hal ini sesuai dengan pandangan ontologisnya mengenain individual thing. Deduktif digunakan dalam berfilsafat, yaitu dalam rangka melakukan analisis ontologisnya untuk mendapatkan kebenaran self-evidence, univrsal hakiki. Sedangkan induktif digunakan science dalam melakukan analisis pengalaman empiris untuk mendapatkan kebenaran, tetapi dengan demikian kebearannya terbatas dan bersifat relatif. Perennialisme mengakui adanya hubungan antara science dengan filsafat, tetapi filsafat punya kedudukan lebih tinggi daripada science. Science mempunyai ketergantungan kepada filsafat untuk mendapatkan asas-asas mendasar yang diperlukannya, contohnya tentang the first principal dan kausalitas.
3.      Pandangan Aksiologis
Pandangan tentang hakikat nilai menurut perennialisme adalah pandangan mengenai hal-hal yang bersifat spiritual. Yang Absolut atau ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan oleh karena itu nilai selalu bersifat teologis (Imam Barnadi, 1984).

D.       Konsep Pendidikan
1.      Definisi Pendidikan
Pendidikan. Perennialisme memandang education as cultural regression : pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolute, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandnag sebagai kebudayaan ideal tersebut.
Sejalan dengan hal diatas, penganut Perennialisme percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan : “pendidikan mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mmengimplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kkebenaran dimana pn dan kapan pun adalah sama. Karena itu kapan pun dan dimana pun pendidikan adalah sama”. Selain itu pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidupp itu sendiri (Madjid Nor, dkk, 1987)
2.      Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan. Bagi penganut Perennialisme, bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu peserta didik menyingkap dan menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
Sekolah. Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran, dan yang pada suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun ke dalam kehidupan. Sekolah bagi perennialist merupakan peraturan-peraturan yang artifical dimana peserta didik  berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan social budaya.
3.      Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered atau berpusat paada materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal, dan abadi. Selain itu, materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia atau kemampuan berpikir, sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar. Karena itu, titik berat isi kurikulum diletakkan pada pelajaran sastra, matematika, bahasa dan humaniora termasuk sejarah (liberal arts). Adapun sumber dan cara mempelajari liberal arts tersebut adalah dengan cara mempelajari “The Great Books”.
4.      Metode
Metode pendidikaan atau metode belajar utama yang digunakan oleh penganut Perennialisme adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendiskusikan karya-karya besar yang tertuang dalam “The Great Books”. Hal ini dipandang baik dalam rangka latihan untuk mendisiplinkan pikiran para peserta didik.
Penganut perennialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental dicipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar. Sebab itu, dapat kita pahami apabila teori dan program pendidikan perennialisme pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
5.      Peranan Pendidik dan Peseta Didik
Peranan guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan mengembangkan potensi-potensi self-discovery ; dan ia melakukan “moral authority” (otoritas moral) atas murid-muridnya, karena ia seorang profesional yang qualified dan superior dibandingkan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih dan mempunyai “perfect” knowledge (Muhammad Nor Syam, 1984;328).

sumber : Buku “Pengantar Filsafat Pendidikan” karya Tatang Syaripudin-kurniasih


Tidak ada komentar:

Posting Komentar