FILSAFAT PENDIDIKAN
SCHOLASTISISME
Filsafat
St. Thomas Aquinas adalah filsafat resmi Gereja Katolik Roma. Filsafat ini
disebut juga Scholastisisme. Scholastisisme merupakan aliran filsafat yang
muncul dan berkembang pada abad pertengahan.
Filsafat ini disebut Skolastik. Menurut Harun Hadiwiijono (1992) sebutan
Skolastik mengungkapkan, bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan diusahakan
oleh sekolah-sekolah, dan bahwa ilmu itu terikat pada tuntutan pengajaran di
sekolah-sekolah itu. Semula Skolastik timbul di biara-biara tertua di Gallia
Selatan, tempat pengusiran ketika ada perpindahan bangsa-bangsa. Sebab itu,
disitu tersimpan hasil kkarya berbagai tokoh kuno dan para penulis kristiani.
Dari biara-biara di Gallia Selatan itu pengaruh Skolastik timbul di
sekolah-sekolah Kapittel, yaitu sekolah-sekolah yang dikaitkan dengan gereja.
Scholastisisme
bangkit selama abad pertengahan yang mencerminkan suatu sintesis dari filsafat
Aristoteles dan Doktrin Gereja Abad Pertengahan. Dalam pemikiran para filsuf Scholastisisme,
filsafat diberi peranan lebih rendah (subordinate)
dari teologi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam ungkapan “I bellive in order that I may know” (saya
percaya agar saya dapat mengetahui). Ungkapan ini menccerminkan karakteristik
hubungan antara filsafat dan teologi.
Sebagaimana
aliran filsafat yang lainya, sistem pikiran mengenai filsafat umum dalam Scholastisisme
juga memberikan implikasi tersendiri terhadap sistem pikiran mengenai
pendidikan. Secara umum hal tersebut dapat dipahami melalui uraian dibawah ini.
A.
Konsep
Filsafat Umum
1. Metafisika
Hakikat
Realitas. Menurut filsuf
Scholastisisme, bahwa alam semesta (universe) atau realitas adalah ciptaan
Tuhan. Scholastisisme menganut prinsip hylemorphe
sebagaimana diajarkan Aristoteles (hyle
berarti materi, morphe berarti
bentuk). Prinsip ini menyatakan bahwa segala sesuat – kecuali Allah dan
malaikat – merupakan kesatuan dari materi dan bentuk. Prinsip ini memungkinkan kita
memahami terjadinya perubahan. Misal : jika pada sesuatu meterinya itu terjadi
perubahan. Prinsip ini pun memungkinkan kita memahami adanya individuasi
(artinya bahwa sesuatu benda merupakan sesuatu yang individual). Misal : kursi
ini bukanlah kursi itu. Individuasi ini dimungkinkan oleh materi yang berbeda,
sekalipun bentuknya sama. Selain itu Scholastisisme juga menganut prinsip essentia (hakikat) – eksistentia (adanya). Prinsip ini
menyatakan bahwa segala realitas – kecuali Allah memiliki struktur esensi dan
eksistensi. Malaikat tidak mempunyai struktur materi dan bentuk, tetapi ia
memiliki struktur esens dan eksistensi.
Hakikat
Manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Manusia merupaka kesatuan
badan-jiwa. Karena hubungannya antara badan dan jiwa sebagai bentuk dan materi
atau sebagai aktus dan potensi, maka jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri
seperti dalam ajaran Plato. Namun demikian Thomas Aquinas meyakini bahwa jiwa
tidak dapat binasa bersamaan dengan tubuh, jiwa tidak dapat mati. Thomas
Aquinas juga mengajarkan bahwa segenap perbuatan manusia adalah perbuatan
segenap pribadi manusia. Karena itu, jika kita mendengar pernyataan “otakku berpikir
atau kakiku berjalan”, pernyataan itu adalah tidak benar. Sebab yang berpikir
atau yang berjalan bukanlah otak atau kaki, melainkan aku atau manusia sebagai
kesatuan badan-jiwa yang terintegrasi. Demikianlah jiwa adalah satu dengan
tubuh dan menjiwai tubuh.
Thomas Aquinas mengakui
ajaran Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk alamiah (natural being), makhluk berpikir/penalar (rational being), dan makhluk bermasyarakat (zoon politicon). Namun lebih jauh dari itu Thomas Aquinas meyakini
bahwa manusia adalah makhluk spiritual (spiritual
being). Berbagai tingkat keberadaan manusia itu berpangkal pada Tuhan
sebagai Pencipta dan Sumber Kebenaran Sejati.
Sebab hal diatas, hakikat
manusia dimana pun adalah sama ; dan karena hakikat spiriualnya, takdir manusia
adalah abadi (jiwa tidak mati). Manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan agar
manusia mencapai tujuan, yaitu kebahagiaan. Adapun seseorang dapat mencapai
kebahagiaan yang sempurna/abadi hanya melalui hidup sesuai petunjuk Tuhan –
sebagaimana didefinisikan oleh Gereja Katolik (Callahan dan Clark, 1983).
2. Epistemologi
Menurut para filsuf
Scholastisisme, bahwa kebenaran absolut dapat diperoleh manusia berdasarkan keimanan (faith). Tetapi manusia pun dapat memperoleh rasio dan akal dengan
cara berpikir. Manusia dapat memperoleh kebenaran melalui akalnya, walupun
terbatas. Kedua jenis pengetahuan/kebenaran diatas tidaklah bertentangan satu
dengan yang lainnya, sebab keimanan/kepercayaan harus menjadi sandaran utama
apabila akal mencapai batas kemampuan. Hal ini sebagimana tersurat dalam
ungkapan “I bellive in order that I may
know” (saya percaya agar saya dapat mengetahui). Selain itu, manusia juga
dapat mengetahui atau memperoleh kebenaran melalui intuisi. Intuisi merupakan sumber pengetahuan, intuisi berada pada
fakultas/daya tertinggi dari jiwa.
Berdasarkan uraian diatas,
kita dapat memahami bahwa Scholastisisme mengakui adanya dua jenis pengetahuan,
yaitu pengetahuan yang berpangkal pada akal yang terang serta memiliki hal-hal
yang bersifat insani, dan pengetahuan iman yang berpangkal pada wahyu dan
memiliki kebenaran ilahi, yang ada dalam kitab suci. Kedua jenis pengetahuan
itu tidak saling bertentangan, melainkan berdiri sendiri-sendiri secara
berdampingan. Sekalipun yang satu berada diluar yang lainnya, tetapi bagian
tepinya ada yang bertindih.
3. Aksiologi
Untuk menjadi baik/dapat
berbuat baik, pertama-tama manusia harus mengetahui kebaikan dalam
aturan-aturan. Meskipun setiap manusia memiliki
kecenderungan kearah yang baik (kearah kebaikan), pertimbangannya
mungkin saja mengarahkan kepada kejahatan. Kekurangan pengetahuan memungkinkan
manusia memilih yang jahat karena kesalaha dugaan bahwa hal itu adalah baik.
Dalam pengertian ini jahat adalah salah atau keliru. Sebab itu, manusia harus
membangun kebiasaan berbuat baik supaya ia mau konsisten memilih yang baik
dalam perbuatan-perbuatan etisnya. Karena Tuhan adalah kebaikan terakhir, dan
Tuhan adalah tujuan akhir manusia, maka manusia harus hidup lulus dari ujiaan
kebajikan dengan penuh tanggung jawab moral atas dirinya sendiri, bertanggung
jawab terhadap kemanusiaan dan terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip bahwa
wahyu Tuhan dan keimanan lebih tinggi dibandingkan dengan filsafat dan
kemampuan rasional manusia untuk memperoleh kebenaran dan nilai, maka bagi
penganut Scholastisisme pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolute, universal dan
abadi di dalam kebudayaan masa lampau dipandang sebagai kebudayaan ideal.
B.
Implikasi
terhadap Pendidikan
1. Tujuan
Pendidikan
Pendidikan harus bertujuan
untuk mengembangkan potensialitas manusia secara penuh menurut doktrin
Scholastic. Adapun keseluruhan potensial manusia tersebut meliputi potensi
intelektual, fisikal, volisional (kemauan), dan juga vocasional.
Konsekuensinya, sekolah harus menyedikan kesempatan bagi setiap siswa untuk
mengembangkan akal/pikiran dan memperkuat kemauannya. Pendidikan adalah lengkap
hanya jika tujuannya memuat eksistensi umat manusia di masa depan dalam surga
dan juga eksistensi lahiriah dimuka bumi. Tak pelak lagi, perlindungan jiwa dan
nasib abadi umat manusia sangat penting daripada apa yang terjadi dengan badan
selama ia tinggal di bumi yang hanya sebentar.
Menyimak uraian diatas,
Scholastisisme mengajarkan bahwa tujuan pendidikan hendaknya tidak hanya untuk
mengembangkan kemampuan intelektual saja, atau hanya untuk mengembangkan
kemampuan fisikal saja, melainkan untuk mengembangkan semua potensi yang
dimiliki manusia agar dapat hidup selamat di dunia maupun di akhirat.
2. Kurikulum
Pendidikan
Isi pendidikan harus
meliputi agama dan ilmu kemanusiaan
(humanities). Disiplin matematika, logika, bahasa, dan retorika juga
dipandang penting. Dalam konteks ini, pendidikannya meliputi pendidikan liberal
yang mencakup pengembangan mata pelajaran-mata pelajaran fundamental yang
berkenaan dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan kemampuan-kemampuan
intelektual. Adapun bagi orang-orang tertentu diberikan pula studi mata
pelajaran-mata pelajaran instrumental yang dibutuhkan untuk hidup. Isi
kurikulum bersumber dari buku-buku besar (the
great book) dan doktrin-doktrin yang dipandang memuat pengetahuan dan
nilai-nilai yang universal dan abadi.
3. Metode
Pendidikan
Penganut Scholatisisme,
mengutamakan metode latihan formal (formal
drill) dalam rangka mendisiplinkan pikiran. Sedangkan dalam rangka
persiapan jiwa ,yaitu untuk memperkuat keimanan dan kemampuan berbuat
kebajikan, penganut Scholastisisme mengutamakan metode katenkismus (Catechism).
Metode katekismus yaitu
metode tanya jawab sebagaiman disajikan dalam
suatu kitab atau buku pelajaran agama kristen. Berikut contoh tanya
jawab yang dicuplik dari “Damai Bagimu” Katekismus Katolik yang disusun oleh
team STTF “ Suryagung Bumi “ Bandung (Kanisius, 1978:9-12):
Bab
I : Manusia, Ciptaan Allah
....
6. Manakah Ciptaan Allah
yang terpenting didunia?
Ciptaan Allah yan terpenting di dunia
adalah manusia, pria dan wanita, yang dijadikan Allah menurut citra-Nya.
Manusia dapat mengatur hidupnya, mengenal dan mencintai Allah dan sesamanya
(Sir. 17., 1-10 ; Mzm.8)
7. Apakah tugas manusia ?
Tugas manusia adalah membangun dan menyempurnakan
dunia serta hidupnya menurut rencana Allah, supaya ia selamat dan bahagia (keb.
9, 1-2).
8.
Mengapa manusia itu berdosa?
Manusia
itu berdosa karena keakuan dan kesombongannya, yang membuatnya memilih jalannya
sendiri, yang tidak menurut rencana Allah tentang ciptaannya. (Ams.21,4)
9.
Kisah mana yang melukiskan keagungan dan dosa manusia?
Kisah
yang melukiskan keagungan dan dosa
manusia, yaitu kisah “Adam dan Hawa dalam taman Firdaus”
10. Dosa dunia itu apa?
Dosa
dunia adalah kenyataan, bahwa seluruh umat manusia tidak berhasil menunaikan
tugasnya dengan baik. Kenyataan itu disebut dosa asal karena menghinggapi semua
manusia. Dosa pribadi berakar dalam kenyataan ini (Mzm 51; Rom. 5,12).
11. Dosa mengakibatkan apa?
Dosa
mengakibatkan:
1. Rusaknya
kebahagiaan dan ketentraman, baik dalam hidup pribadi maupun dalam hidup
bersama.
2. Retaknya
persatuan dengan Allah yang mengakibatkan manusia mendekati kecelakaan (Kej.4,
1-16)
Dst.
4. Peranan
Guru dan Siswa
Guru harus menjadi teladan
yang baik bagi para siswanya. Guru mempunyai wewenang untuk mengatur kelas
(pengelolaan kertas berpusat pada guru); dalam hal ini struktur pelajaran yang
dirancang guru hendaknya diarahkan untuk membantu pengembangan pengetahuan,
keterampilan berpikir dan untuk berbuat kebajikan.
Orientasi pendidikan
Scholastisisme adalah Perenialisme (Callahan
and Clark, 1983). Hal ini dapat dipahami karena pendidikan Scholastisisme
menekankan pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran yang bersifat universal,
absolute, menetap atau abadi, serta prinsipnya yang religius (agama oriented).
Dikatakan demikian sebab sekalipun terdapat Perennialist yang sekuler, namun
mereka hanya merupakan minoritas dalam Perenialisme. Perenialisme memandang
tugas pendidikan adalah untuk memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai
kebenaran yang pasti, universal, absolute dan abadi atau menetap tersebut
diatas yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang diakuinya sebagai
kebudayaan yang ideal.
Sumber
:
Judul
buku : Pengantar Filsafat Pendidikan
Pengarang
: Tatang Syaripudin & Kurniasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar