Selasa, 01 Desember 2015

FILSAFAT PENDIDIKAN SCHOLASTISISME

FILSAFAT PENDIDIKAN SCHOLASTISISME

Filsafat St. Thomas Aquinas adalah filsafat resmi Gereja Katolik Roma. Filsafat ini disebut juga Scholastisisme. Scholastisisme merupakan aliran filsafat yang muncul dan berkembang pada abad pertengahan.  Filsafat ini disebut Skolastik. Menurut Harun Hadiwiijono (1992) sebutan Skolastik mengungkapkan, bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan diusahakan oleh sekolah-sekolah, dan bahwa ilmu itu terikat pada tuntutan pengajaran di sekolah-sekolah itu. Semula Skolastik timbul di biara-biara tertua di Gallia Selatan, tempat pengusiran ketika ada perpindahan bangsa-bangsa. Sebab itu, disitu tersimpan hasil kkarya berbagai tokoh kuno dan para penulis kristiani. Dari biara-biara di Gallia Selatan itu pengaruh Skolastik timbul di sekolah-sekolah Kapittel, yaitu sekolah-sekolah yang dikaitkan dengan gereja.
Scholastisisme bangkit selama abad pertengahan yang mencerminkan suatu sintesis dari filsafat Aristoteles dan Doktrin Gereja Abad Pertengahan. Dalam pemikiran para filsuf Scholastisisme, filsafat diberi peranan lebih rendah (subordinate) dari teologi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam ungkapan “I bellive in order that I may know” (saya percaya agar saya dapat mengetahui). Ungkapan ini menccerminkan karakteristik hubungan antara filsafat dan teologi.
Sebagaimana aliran filsafat yang lainya, sistem pikiran mengenai filsafat umum dalam Scholastisisme juga memberikan implikasi tersendiri terhadap sistem pikiran mengenai pendidikan. Secara umum hal tersebut dapat dipahami melalui uraian dibawah ini.

A.     Konsep Filsafat Umum
1.    Metafisika
Hakikat Realitas.  Menurut filsuf Scholastisisme, bahwa alam semesta (universe) atau realitas adalah ciptaan Tuhan. Scholastisisme menganut prinsip hylemorphe sebagaimana diajarkan Aristoteles (hyle berarti materi, morphe berarti bentuk). Prinsip ini menyatakan bahwa segala sesuat – kecuali Allah dan malaikat – merupakan kesatuan dari materi dan bentuk. Prinsip ini memungkinkan kita memahami terjadinya perubahan. Misal : jika pada sesuatu meterinya itu terjadi perubahan. Prinsip ini pun memungkinkan kita memahami adanya individuasi (artinya bahwa sesuatu benda merupakan sesuatu yang individual). Misal : kursi ini bukanlah kursi itu. Individuasi ini dimungkinkan oleh materi yang berbeda, sekalipun bentuknya sama. Selain itu Scholastisisme juga menganut prinsip essentia (hakikat) – eksistentia (adanya). Prinsip ini menyatakan bahwa segala realitas – kecuali Allah memiliki struktur esensi dan eksistensi. Malaikat tidak mempunyai struktur materi dan bentuk, tetapi ia memiliki struktur esens dan eksistensi.
Hakikat Manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Manusia merupaka kesatuan badan-jiwa. Karena hubungannya antara badan dan jiwa sebagai bentuk dan materi atau sebagai aktus dan potensi, maka jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri seperti dalam ajaran Plato. Namun demikian Thomas Aquinas meyakini bahwa jiwa tidak dapat binasa bersamaan dengan tubuh, jiwa tidak dapat mati. Thomas Aquinas juga mengajarkan bahwa segenap perbuatan manusia adalah perbuatan segenap pribadi manusia. Karena itu, jika kita mendengar pernyataan “otakku berpikir atau kakiku berjalan”, pernyataan itu adalah tidak benar. Sebab yang berpikir atau yang berjalan bukanlah otak atau kaki, melainkan aku atau manusia sebagai kesatuan badan-jiwa yang terintegrasi. Demikianlah jiwa adalah satu dengan tubuh dan menjiwai tubuh.
Thomas Aquinas mengakui ajaran Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk alamiah (natural being), makhluk berpikir/penalar (rational being), dan makhluk bermasyarakat (zoon politicon). Namun lebih jauh dari itu Thomas Aquinas meyakini bahwa manusia adalah makhluk spiritual (spiritual being). Berbagai tingkat keberadaan manusia itu berpangkal pada Tuhan sebagai Pencipta dan Sumber Kebenaran Sejati.
Sebab hal diatas, hakikat manusia dimana pun adalah sama ; dan karena hakikat spiriualnya, takdir manusia adalah abadi (jiwa tidak mati). Manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan agar manusia mencapai tujuan, yaitu kebahagiaan. Adapun seseorang dapat mencapai kebahagiaan yang sempurna/abadi hanya melalui hidup sesuai petunjuk Tuhan – sebagaimana didefinisikan oleh Gereja Katolik (Callahan dan Clark, 1983).

2.    Epistemologi
Menurut para filsuf Scholastisisme, bahwa kebenaran absolut dapat diperoleh manusia berdasarkan keimanan (faith). Tetapi manusia pun dapat memperoleh rasio dan akal dengan cara berpikir. Manusia dapat memperoleh kebenaran melalui akalnya, walupun terbatas. Kedua jenis pengetahuan/kebenaran diatas tidaklah bertentangan satu dengan yang lainnya, sebab keimanan/kepercayaan harus menjadi sandaran utama apabila akal mencapai batas kemampuan. Hal ini sebagimana tersurat dalam ungkapan “I bellive in order that I may know” (saya percaya agar saya dapat mengetahui). Selain itu, manusia juga dapat mengetahui atau memperoleh kebenaran melalui intuisi. Intuisi merupakan sumber pengetahuan, intuisi berada pada fakultas/daya tertinggi dari jiwa.
Berdasarkan uraian diatas, kita dapat memahami bahwa Scholastisisme mengakui adanya dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan yang berpangkal pada akal yang terang serta memiliki hal-hal yang bersifat insani, dan pengetahuan iman yang berpangkal pada wahyu dan memiliki kebenaran ilahi, yang ada dalam kitab suci. Kedua jenis pengetahuan itu tidak saling bertentangan, melainkan berdiri sendiri-sendiri secara berdampingan. Sekalipun yang satu berada diluar yang lainnya, tetapi bagian tepinya ada yang bertindih.

3.    Aksiologi
Untuk menjadi baik/dapat berbuat baik, pertama-tama manusia harus mengetahui kebaikan dalam aturan-aturan. Meskipun setiap manusia memiliki  kecenderungan kearah yang baik (kearah kebaikan), pertimbangannya mungkin saja mengarahkan kepada kejahatan. Kekurangan pengetahuan memungkinkan manusia memilih yang jahat karena kesalaha dugaan bahwa hal itu adalah baik. Dalam pengertian ini jahat adalah salah atau keliru. Sebab itu, manusia harus membangun kebiasaan berbuat baik supaya ia mau konsisten memilih yang baik dalam perbuatan-perbuatan etisnya. Karena Tuhan adalah kebaikan terakhir, dan Tuhan adalah tujuan akhir manusia, maka manusia harus hidup lulus dari ujiaan kebajikan dengan penuh tanggung jawab moral atas dirinya sendiri, bertanggung jawab terhadap kemanusiaan dan terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip bahwa wahyu Tuhan dan keimanan lebih tinggi dibandingkan dengan filsafat dan kemampuan rasional manusia untuk memperoleh kebenaran dan nilai, maka bagi penganut Scholastisisme pengetahuan tentang nilai-nilai  kebenaran yang pasti, absolute, universal dan abadi di dalam kebudayaan masa lampau dipandang sebagai kebudayaan ideal.

B.    Implikasi terhadap Pendidikan
1.    Tujuan Pendidikan
Pendidikan harus bertujuan untuk mengembangkan potensialitas manusia secara penuh menurut doktrin Scholastic. Adapun keseluruhan potensial manusia tersebut meliputi potensi intelektual, fisikal, volisional (kemauan), dan juga vocasional. Konsekuensinya, sekolah harus menyedikan kesempatan bagi setiap siswa untuk mengembangkan akal/pikiran dan memperkuat kemauannya. Pendidikan adalah lengkap hanya jika tujuannya memuat eksistensi umat manusia di masa depan dalam surga dan juga eksistensi lahiriah dimuka bumi. Tak pelak lagi, perlindungan jiwa dan nasib abadi umat manusia sangat penting daripada apa yang terjadi dengan badan selama ia tinggal di bumi yang hanya sebentar.
Menyimak uraian diatas, Scholastisisme mengajarkan bahwa tujuan pendidikan hendaknya tidak hanya untuk mengembangkan kemampuan intelektual saja, atau hanya untuk mengembangkan kemampuan fisikal saja, melainkan untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki manusia agar dapat hidup selamat di dunia maupun di akhirat.

2.    Kurikulum Pendidikan
Isi pendidikan harus meliputi agama dan ilmu kemanusiaan (humanities). Disiplin matematika, logika, bahasa, dan retorika juga dipandang penting. Dalam konteks ini, pendidikannya meliputi pendidikan liberal yang mencakup pengembangan mata pelajaran-mata pelajaran fundamental yang berkenaan dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan kemampuan-kemampuan intelektual. Adapun bagi orang-orang tertentu diberikan pula studi mata pelajaran-mata pelajaran instrumental yang dibutuhkan untuk hidup. Isi kurikulum bersumber dari buku-buku besar (the great book) dan doktrin-doktrin yang dipandang memuat pengetahuan dan nilai-nilai yang universal dan abadi.
3.    Metode Pendidikan
Penganut Scholatisisme, mengutamakan metode latihan formal (formal drill) dalam rangka mendisiplinkan pikiran. Sedangkan dalam rangka persiapan jiwa ,yaitu untuk memperkuat keimanan dan kemampuan berbuat kebajikan, penganut Scholastisisme mengutamakan metode katenkismus (Catechism).
Metode katekismus yaitu metode tanya jawab sebagaiman disajikan dalam  suatu kitab atau buku pelajaran agama kristen. Berikut contoh tanya jawab yang dicuplik dari “Damai Bagimu” Katekismus Katolik yang disusun oleh team STTF “ Suryagung Bumi “ Bandung (Kanisius, 1978:9-12):
Bab I : Manusia, Ciptaan Allah
....
6. Manakah Ciptaan Allah yang terpenting didunia?
      Ciptaan Allah yan terpenting di dunia adalah manusia, pria dan wanita, yang dijadikan Allah menurut citra-Nya. Manusia dapat mengatur hidupnya, mengenal dan mencintai Allah dan sesamanya (Sir. 17., 1-10 ; Mzm.8)
7. Apakah tugas manusia ?
Tugas manusia adalah membangun dan menyempurnakan dunia serta hidupnya menurut rencana Allah, supaya ia selamat dan bahagia (keb. 9, 1-2).
8. Mengapa manusia itu berdosa?
Manusia itu berdosa karena keakuan dan kesombongannya, yang membuatnya memilih jalannya sendiri, yang tidak menurut rencana Allah tentang ciptaannya. (Ams.21,4)  
9. Kisah mana yang melukiskan keagungan dan dosa manusia?
Kisah yang melukiskan keagungan  dan dosa manusia, yaitu kisah “Adam dan Hawa dalam taman Firdaus”
10. Dosa dunia itu apa?
Dosa dunia adalah kenyataan, bahwa seluruh umat manusia tidak berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Kenyataan itu disebut dosa asal karena menghinggapi semua manusia. Dosa pribadi berakar dalam kenyataan ini (Mzm 51; Rom. 5,12).
11. Dosa mengakibatkan apa?
Dosa mengakibatkan:
1.      Rusaknya kebahagiaan dan ketentraman, baik dalam hidup pribadi maupun dalam hidup bersama.
2.      Retaknya persatuan dengan Allah yang mengakibatkan manusia mendekati kecelakaan (Kej.4, 1-16)

Dst.  

4.    Peranan Guru dan Siswa
Guru harus menjadi teladan yang baik bagi para siswanya. Guru mempunyai wewenang untuk mengatur kelas (pengelolaan kertas berpusat pada guru); dalam hal ini struktur pelajaran yang dirancang guru hendaknya diarahkan untuk membantu pengembangan pengetahuan, keterampilan berpikir dan untuk berbuat kebajikan.
Orientasi pendidikan Scholastisisme adalah Perenialisme (Callahan and Clark, 1983). Hal ini dapat dipahami karena pendidikan Scholastisisme menekankan pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran yang bersifat universal, absolute, menetap atau abadi, serta prinsipnya yang religius (agama oriented). Dikatakan demikian sebab sekalipun terdapat Perennialist yang sekuler, namun mereka hanya merupakan minoritas dalam Perenialisme. Perenialisme memandang tugas pendidikan adalah untuk memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, universal, absolute dan abadi atau menetap tersebut diatas yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang diakuinya sebagai kebudayaan yang ideal.

Sumber :
Judul buku : Pengantar Filsafat Pendidikan
Pengarang : Tatang Syaripudin & Kurniasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar