Minggu, 03 Januari 2016

laporan local wisdom setempat

Kesenian Debus Padepokan Surosowan – Walantaka

1.        Pengertian Debus
Istilah Debus sampai saat ini belum dapat diketahui pasti berasal dari kata apa atau mengambil dari istilah bahasa asing mana, sebab sampai saat ini belum ada catatan tertulis yang mendeskripsikan kata debus. Namun menurut Tb. A. Sastrasuganda, mantan Kepala Seksi Kebudayaan Kandepdikbud kabupaten Serang mengatakan bahwa kata debus bersal dari kata tembus. Hal ini  merujuk kepada alat yang digunakan adalah salah satu benda tajam yang dapat menembus tubuh. Ada juga yang mengartikan debus dari kata gedebus, yaitu nama dari salah satu benda tajam yang digunakan dalam pertunjukkan kekebalan tubuh. Benda tajam tersebut terbuat dari  besi dan digunakan untuk melukai diri sendiri. Oleh karena itu dalam hal ini kata debus diartikan sebagai tidak tembus.
Debus merupakan pencak silat yang berhubungan dengan ilmu kekebalan sebagai refleksi sikap masyarakat Banten untuk mempertahankan diri. Debus merupakan kekuatan gaib atau ajaib yang tahan terhadap benda tajam, tusukan, pukulan, dan dibakar oleh api.
Kesenian debus merupakan kesenian yang bersifat religious. Hal ini ditandai dengan adanya doa-doa yang diambil dari ayat-ayat Al Qur’an. Kesenian ini berkembang di kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang terutama di Kecamatan walantaka dengan tokohnya Muhammad Idris, Kecamatan Curug dengan tokohnya Umor, Kecamatn Ciruas yang dipimpin oleh H. Ahmad, dan Kecamatan Cikande dengan tokohnya H. Renam.

2.        Latar Belakang Sejarah dan Fungsi Debus
Asal-usul debus tidak dapat dipisahkan dari penyebaran agama Islam di Indonesia. Debus tumbuh di Banten sebagai alat untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah yang masih menganut ajaran Hindu dan Budha. Pada Masa Kesultanan Sultan Ageng Tirtayasa sekitar abad ke 17 masehi, debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajahan Belanda. Oleh karena itu, Kesenian ini lebih bersifat kesenian bela diri  dan memupuk keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Pada masa lalu pertunjukkan debus dilaksanakan di suatu ruangan di dalam Masjid Agung Banten yang disebut “Gedung Tiyamah”, yaitu sebuah banguanan tak jauh dari Masjid Agung Banten.  Selama pertunjukan Debus berlangsung biasanya dipimpin oleh seorang atau dua orang guru yang disebut Khalifah atau Syekh yang bertanggung jawab terhadap kelancaran permainan dan menjaga keselamatan para pemain Debus. Pada mulanya permainan ini hanya dimainkan oleh kaum Adam, namun saat ini tidak jarang diminati pula oleh kaum perempuan.
Menurut Sandjin Aminuddin, seorang tokoh Banten mengungkapkan bahwa pengaruh seni Debus terhadap masyarakat cukup luas, antara lain sebagai berikut:
1.        Kesenian Debus bergerak dibidang kekebalan. Kekebalan identik dengan bela diri. Dengan demikian kesenian ini mudah dicintai.
2.        Masyarakat Banten umunya fanatic agama, sehingga hanya kesenian yang bermanfaat bagi agamalah yang bisa berkembang di masyarakat.  Kesenian Debus selalu membawakan dzikiran yang memuji dan mengagungkan Allah dan Rasulullah SAW.
3.        Kesenian Debus merupakan kesenian yang langka dan digemari oleh masyarakat sebagai hiburan rakyat.
4.        Para Alim Ulama menganggap kesenian Debus tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam.
3.        Pertunjukkan Seni Debus
Salah satu kesenian debus yang sangat popular di Banten adalah Seni Debus Surosowan Banten di Kecamatan walantaka, serang. Seni debus ini dipimpin oleh Muhammad Idris. Adapun persyaratan yang harus ditempuh oleh seorang pemain Debus disetiap penampilannya adalah sebagai berikut:
1.        Melakukan puasa selama 40 hari.
2.        Setelah Shalat Fardhu diharuskan membaca Bismillah sebanyak-banyaknya.
3.        Membaca wiridan sebanyak sebelas kali.

Adapun bacaan wiridannya sebagai berikut:
Bismillahirahmanirahim”
Inna Atoinakal Kautsar Fasholli liwa liwali warba
Tulung para wali sakabeh, mangka welas mangka asih
Atine wong sadunia madeleng maring isun, berkahna Lailahaillallah
Muhammaddurasulullah.
“Bismillahirahmanirahim”
Bima bayu ongedek agu geni murud mati dening aku.
Repsirep atine wong sadunia madeleng maring isun, berkahna
Lailahaillallah Muhammaddurasulullah.
1.        Harus yakin dengan apa yang dipelajari dan diamalkannya.
2.        Menjauhi larangan yang telah ditetapkan oleh agama Islam seperti 5 M (Maling, Maen, Madon, Minum, Madat).
Jika syarat-syarat telah dipenuhi maka si pemain debus barulah diijinkan oleh syaikh atau guru tersebut untuk menampilka atraksi debus. Berikut ini tahapan-tahapan pertunjukkan debus yang biasa ditampilkan oleh Debus Surosowan:
1.        Pembukaan (gembung), yaitu pembacaan sholawat dan puji-pujian yang diiringi instrument music tabuh selama 2-3 menit.
2.        Pelaksanaan dzikir kepada Allah dan sholawat kepada Nabi dan para Sahabatnya sambil diiringi tabuh music.
3.        Beluk, yaitu nyanyian yang dibawakan oleh pendzikir dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan, dan diiringi dengan tabuh-tabuhan. Beluk ini dilakukan sampai dengan pertunjukkan berakhir.
4.        Silat, ketika beluk dimulai maka keluarlah satu atau dua orang pesilat yang mendemonstarsikan kebolehannya dalam bersilat.
5.        Permainan Debus, dua orang menggunakan peralatan debus: satu orang memegang Almadad (gedebus) ditempelkan keperutnya dan satu orang lagi memegang pemukul atau gada yang siap dipukul ke Almadad.
6.        Mengupas kelapa dengan menggunakan gigi, setelah kelapa dikupas dipecahkanmenggunakan kepala pemain debus.
7.        Menggoreng kerupuk atau telor diatas kepala.
8.        Membakar anggota tubuh dengan api dan menyisir rambut dengan api tanpa terbakar sedikitpun.
9.        Menaiki anak tangga yang terbuat dari golok yang tajam.
10.    Mamakan pecahan kaca dan arang.
11.    Gemrung, yaitu permainan instrument untuk mengakhiri pertunjukkan.
4.        Pemain Debus dan Busana yang digunakan
Debus merupakan pertunjukkann seni secara berkelompok, biasanya dalam sebuah kelompok debus terdiri dari 12 sampai dengan 15 orang yang masing-masing memilki tugas masing-masing. Adapun uraian tugas pemain dan pendukung pertunjukkan debus adalah sebagai berikut:
1.        1 orang juru gendang
2.        1 orang penabuh terbang (rebana besar)
3.        2 borang penabuh dogdog tingtit.
4.        1 orang penabuh kecrek
5.        4 orang sebagai pendzikir yang berganti-gantian.
6.        5 orang pemain debus.
7.        1 orang sebagai Syaikh (guru/pemimpin kelompok debus).
Dalam setiap penampilannya pemain dan pendukung debus menggunakan busana khas yang terlihat seperti busana yang dipakai oleh seorang pendekar. Busana yang digunakan dalam pertunjukkan seni debus didominasi warna hitam yang terdiri dari:
1.        Baju Kampret yaitu baju tanpa kerah yang mempunyai kantong 2 buah dibagian bawah kiri dan kanan, serta bertangan panjang.
2.        Celana Pangsi yaitu celana yang dibuat tanpa ikat pinggang, bila dipakai digulung seperti memakai sarung dan baru diberi ikat pinggang. Ukuran bagian kaki cukup lebar untuk memudahkan bergerak dalam beratraksi.
3.        Lomar (Ikat Kepala) terbuat dari kain batik, berbentuk segi tiga atau segi empat yang dilipat menjadi segi tiga.
Padepokan Surosowan yang ada di Walantaka
Tiga generasi sudah debus diperkenalkan di desa Walantaka, Serang. Ilmu ini sudah berkembang dari abad ke 16 sejak pertama kali debus Surosowan lahir di tanah Banten. Padepokan ini sempat berhenti beraktivitas sampai pada akhirnya kembali dibangkitkan oleh kakek dari Elang Satria Negara (30) selaku pemimpin Padepokan Surosowan saat ini pada awal abad ke 20.
Kala mendengar kata debus, yang terlintas dalam benak masyarakat awam adalah sebuah ilmu pertunjukkan yang menggunakan media seperti benda tajam, dan ilmu kekebalan. Debus sendiri merupakan ilmu yang sudah berkembang dari abad ke 16 di daerah Banten. Di masa itu seni pertunjukkan yang mempertontonkan kekebalan ini digunakan sebagai ilmu untuk melawan penjajah oleh pejuang tanah air. Sampai pada akhirnya, kesenian ini pun beralih fungsi menjadi sebuah seni pertunjukkan yang digunakan untuk menghibur para raja – raja di dalam kesultanan Surosowan di Banten.
Debus sendiri memang merupakan seni yang lahir dari tanah Banten, yang dipopulerkan semenjak zaman kerajaan Islam mulai meluas di daerah ini. Saat ini, debus bukan lagi sebagai ilmu untuk berperang, namun fungsinya murni sebagai sebuah seni pertunjukkan yang biasa dipertontonkan dalam upacara – upacara adat atau pesta besar dalam tradisi masyarakat Banten. Salah satu padepokan tertua yang melahirkan kesenian debus adalah padepokan Surosowan. Padepokan ini terletak di desa Walantaka, Serang, Banten. Elang mengaku bahwa dalam silsilah keluarganya, padepokan ini sudah diurus oleh tiga (3) generasi. Yaitu, kakeknya, ayahnya, dan Elang sebagai generasi ketiga.
Dari padepokan inilah lahir jawara-jawara Banten yang terkenal. Sebut saja salah satunya adalah almarhum bapak Idris yang merupakan pendiri padepokan tersebut. Setelah sepeninggalannya almarhun bapak Idris, padepokan ini diurus oleh anak-anaknya yang berjumlah 9 orang. Padepokan ini adalah padepokan yang berbasiskan kekeluargaan, jadi tidak ada struktur keorganisasian yang pasti pada padepokan ini, namun yang menjadi ketua harian padepokan saat ini adalah bapak Suminta yang merupakan salah satu anak laki-laki pendiri padepokan tersebut. Selain bapak Suminta ada lagi tokoh terkenal yang juga merupakan anak-anak dari pendiri padepokan Surosowan adalah bapak H. Muchtar Idris dan ibu Bayi Khodijah. Padepokan Surosowan ini tidak diketahui dengan pasti kapan didirikannya, saat mencoba menanyakan sejak kapan berdirinya padepokan ini, pak H Muchtar Idris mengatakan bahwa pohon beringin besar yang berdiri kokoh di depan pelataran padepokan Surosowan ini sudah ada sebelum padepokan tersebut didirikan, itu berarti usia padepokan tersebut berkisar 100 tahunan lebih.
Padepokan Surosowan tidak hanya melestarikan kesenian tradisional Debus, namun juga kesenian tradisional Pencak Silat yang saat ini dipimpin dan dilatih oleh Elang Kusuma Negara dan Mul yang juga merupakn cucu dari pendiri padepokan Surosowan. Anggota kesenian tradisional Pencak Silat itu sendiri adalah anak-anak sekitar daerah setempat yang ingin memperdalamai dan melestarikan kesenian tradisional daerah tersebut.
Ada beberapa perbedaan antara debus Surosowan dengan padepokan lainnya, yang pertama, debus di padepokan ini merupakan gabungan antara silat dan debus. Dimana ilmu bela diri silat, berasal dari kata silahturahmi, padepokan ini memiliki visi bahwa seni bela diri dan pertunjukkan ini adalah sebagai ajang silahturahmi antara tiap – tiap perguruan / padepokan, bukan masalah pamer kekuatan atau kekebalan, namun lebih mengutamakan menjalin tali persaudaraan dan kekeluargaan dengan masyarakat di luar.
Dalam debus sendiri, setiap atraksi memiliki makna atau filosofi di dalamnya. Saat kita melihat ada seorang pemain yang makan beling atau batu bara, atraksi tersebut bukanlah hanya untuk hiburan semata. Melainkan ada nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Sebagai salah satu contoh, saat ada atraksi memakan benda – benda tidak lazim seperti bara api atau beling, atraksi itu mensimbolkan bahwa di zaman penjajahan dulu, di masa awal debus diperkenalkan, masyarakat Banten sangat kesulitan makanan. Bahwa di masa itu makan adalah suatu kemewahan dan betapa sengsaranya mereka dalam mencari makan. Lalu, adegan mengupas kelapa dengan gigi, itu menggambarkan bahwa di masa dulu alat tidak ada. Semua kegiatan harus dilakukan dengan anggota tubuh yang ada karena keterbatasan alat. Tidak adanya benda tajam untuk mengupas kelapa, membuktikan bahwa masyarakat Banten zaman dulu harus memaksimalkan potensi anggota tubuhnya sebagai pengganti alat – alat yang biasanya digunakan. Setiap gerakan yang ditampilkan adalah bentuk atau gambaran kehidupan masyarakat Banten zaman dahulu sebagai bentuk protes terhadap penjajah.
Dengan menyaksikan sendiri kesenian Debus dan Pencak Silat yang ada di Padepokan Surosowan, saya merasa bangga sekali dengan warisan budaya Indonesia yang  indah,  kaya dan mempesona. Sebagai generasi muda sudah sepatutnya kita melestarikan, mempertahankan dan memperkenalkan kebudayaan yang kita miliki kepada anak bangsa dan dunia luar. Jadilah anak muda yang bangga dengan kebudayaan bangsa, anak bangsa yang menghargai warisan nenek moyang. Jangan pernah mau dilenakan dengan kebudayaan negara luar yang belum tentu semuanya baik untuk kita terapkan di kehidupan sehari-hari.


Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar