Kesenian Debus Padepokan
Surosowan – Walantaka
1.
Pengertian Debus
Istilah
Debus sampai saat ini belum dapat diketahui pasti berasal dari kata apa atau
mengambil dari istilah bahasa asing mana, sebab sampai saat ini belum ada
catatan tertulis yang mendeskripsikan kata debus. Namun menurut Tb. A.
Sastrasuganda, mantan Kepala Seksi Kebudayaan Kandepdikbud kabupaten Serang
mengatakan bahwa kata debus bersal dari kata tembus. Hal ini merujuk
kepada alat yang digunakan adalah salah satu benda tajam yang dapat menembus
tubuh. Ada juga yang mengartikan debus dari kata gedebus, yaitu nama dari salah
satu benda tajam yang digunakan dalam pertunjukkan kekebalan tubuh. Benda tajam
tersebut terbuat dari besi dan digunakan untuk melukai diri sendiri. Oleh
karena itu dalam hal ini kata debus diartikan sebagai tidak tembus.
Debus
merupakan pencak silat yang berhubungan dengan ilmu kekebalan sebagai refleksi
sikap masyarakat Banten untuk mempertahankan diri. Debus merupakan kekuatan
gaib atau ajaib yang tahan terhadap benda tajam, tusukan, pukulan, dan dibakar
oleh api.
Kesenian
debus merupakan kesenian yang bersifat religious. Hal ini ditandai dengan
adanya doa-doa yang diambil dari ayat-ayat Al Qur’an. Kesenian ini berkembang
di kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang terutama di
Kecamatan walantaka dengan tokohnya Muhammad Idris, Kecamatan Curug dengan
tokohnya Umor, Kecamatn Ciruas yang dipimpin oleh H. Ahmad, dan Kecamatan
Cikande dengan tokohnya H. Renam.
2.
Latar Belakang Sejarah dan Fungsi Debus
Asal-usul
debus tidak dapat dipisahkan dari penyebaran agama Islam di Indonesia. Debus
tumbuh di Banten sebagai alat untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah yang
masih menganut ajaran Hindu dan Budha. Pada Masa Kesultanan Sultan Ageng
Tirtayasa sekitar abad ke 17 masehi, debus difokuskan sebagai alat untuk
membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajahan Belanda. Oleh
karena itu, Kesenian ini lebih bersifat kesenian bela diri dan memupuk
keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Pada masa
lalu pertunjukkan debus dilaksanakan di suatu ruangan di dalam Masjid Agung
Banten yang disebut “Gedung Tiyamah”, yaitu sebuah banguanan tak jauh dari
Masjid Agung Banten. Selama pertunjukan Debus berlangsung biasanya
dipimpin oleh seorang atau dua orang guru yang disebut Khalifah atau Syekh yang
bertanggung jawab terhadap kelancaran permainan dan menjaga keselamatan para
pemain Debus. Pada mulanya permainan ini hanya dimainkan oleh kaum Adam, namun
saat ini tidak jarang diminati pula oleh kaum perempuan.
Menurut
Sandjin Aminuddin, seorang tokoh Banten mengungkapkan bahwa pengaruh seni Debus
terhadap masyarakat cukup luas, antara lain sebagai berikut:
1.
Kesenian Debus bergerak dibidang kekebalan. Kekebalan
identik dengan bela diri. Dengan demikian kesenian ini mudah dicintai.
2.
Masyarakat Banten umunya fanatic agama, sehingga hanya
kesenian yang bermanfaat bagi agamalah yang bisa berkembang di
masyarakat. Kesenian Debus selalu membawakan dzikiran yang memuji dan
mengagungkan Allah dan Rasulullah SAW.
3.
Kesenian Debus merupakan kesenian yang langka dan
digemari oleh masyarakat sebagai hiburan rakyat.
4.
Para Alim Ulama menganggap kesenian Debus tidak
bertentangan dengan ajaran Agama Islam.
3.
Pertunjukkan Seni Debus
Salah satu
kesenian debus yang sangat popular di Banten adalah Seni Debus Surosowan Banten
di Kecamatan walantaka, serang. Seni debus ini dipimpin oleh Muhammad Idris.
Adapun persyaratan yang harus ditempuh oleh seorang pemain Debus disetiap
penampilannya adalah sebagai berikut:
1.
Melakukan puasa selama 40 hari.
2.
Setelah Shalat Fardhu diharuskan membaca Bismillah
sebanyak-banyaknya.
3.
Membaca wiridan sebanyak sebelas kali.
Adapun
bacaan wiridannya sebagai berikut:
“Bismillahirahmanirahim”
Inna
Atoinakal Kautsar Fasholli liwa liwali warba
Tulung para
wali sakabeh, mangka welas mangka asih
Atine wong
sadunia madeleng maring isun, berkahna Lailahaillallah
Muhammaddurasulullah.
“Bismillahirahmanirahim”
Bima bayu
ongedek agu geni murud mati dening aku.
Repsirep
atine wong sadunia madeleng maring isun, berkahna
Lailahaillallah
Muhammaddurasulullah.
1.
Harus yakin dengan apa yang dipelajari dan
diamalkannya.
2.
Menjauhi larangan yang telah ditetapkan oleh agama
Islam seperti 5 M (Maling, Maen, Madon, Minum, Madat).
Jika
syarat-syarat telah dipenuhi maka si pemain debus barulah diijinkan oleh syaikh
atau guru tersebut untuk menampilka atraksi debus. Berikut ini tahapan-tahapan
pertunjukkan debus yang biasa ditampilkan oleh Debus Surosowan:
1.
Pembukaan (gembung), yaitu pembacaan sholawat dan
puji-pujian yang diiringi instrument music tabuh selama 2-3 menit.
2.
Pelaksanaan dzikir kepada Allah dan sholawat kepada
Nabi dan para Sahabatnya sambil diiringi tabuh music.
3.
Beluk, yaitu nyanyian yang dibawakan oleh pendzikir
dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan, dan diiringi dengan
tabuh-tabuhan. Beluk ini dilakukan sampai dengan pertunjukkan berakhir.
4.
Silat, ketika beluk dimulai maka keluarlah satu atau
dua orang pesilat yang mendemonstarsikan kebolehannya dalam bersilat.
5.
Permainan Debus, dua orang menggunakan peralatan
debus: satu orang memegang Almadad (gedebus) ditempelkan keperutnya dan satu
orang lagi memegang pemukul atau gada yang siap dipukul ke Almadad.
6.
Mengupas kelapa dengan menggunakan gigi, setelah
kelapa dikupas dipecahkanmenggunakan kepala pemain debus.
7.
Menggoreng kerupuk atau telor diatas kepala.
8.
Membakar anggota tubuh dengan api dan menyisir rambut
dengan api tanpa terbakar sedikitpun.
9.
Menaiki anak tangga yang terbuat dari golok yang
tajam.
10. Mamakan
pecahan kaca dan arang.
11. Gemrung,
yaitu permainan instrument untuk mengakhiri pertunjukkan.
4.
Pemain Debus dan Busana yang digunakan
Debus
merupakan pertunjukkann seni secara berkelompok, biasanya dalam sebuah kelompok
debus terdiri dari 12 sampai dengan 15 orang yang masing-masing memilki tugas
masing-masing. Adapun uraian tugas pemain dan pendukung pertunjukkan debus
adalah sebagai berikut:
1.
1 orang juru gendang
2.
1 orang penabuh terbang (rebana besar)
3.
2 borang penabuh dogdog tingtit.
4.
1 orang penabuh kecrek
5.
4 orang sebagai pendzikir yang berganti-gantian.
6.
5 orang pemain debus.
7.
1 orang sebagai Syaikh (guru/pemimpin kelompok debus).
Dalam setiap penampilannya pemain
dan pendukung debus menggunakan busana khas yang terlihat seperti busana yang
dipakai oleh seorang pendekar. Busana yang digunakan dalam pertunjukkan seni
debus didominasi warna hitam yang terdiri dari:
1.
Baju Kampret yaitu baju tanpa kerah yang mempunyai
kantong 2 buah dibagian bawah kiri dan kanan, serta bertangan panjang.
2.
Celana Pangsi yaitu celana yang dibuat tanpa ikat
pinggang, bila dipakai digulung seperti memakai sarung dan baru diberi ikat
pinggang. Ukuran bagian kaki cukup lebar untuk memudahkan bergerak dalam beratraksi.
3.
Lomar (Ikat Kepala) terbuat dari kain batik, berbentuk
segi tiga atau segi empat yang dilipat menjadi segi tiga.
Padepokan Surosowan yang ada di Walantaka
Tiga
generasi sudah debus diperkenalkan di desa Walantaka, Serang. Ilmu ini sudah
berkembang dari abad ke 16 sejak pertama kali debus Surosowan lahir di tanah
Banten. Padepokan ini sempat berhenti beraktivitas sampai pada akhirnya kembali
dibangkitkan oleh kakek dari Elang Satria Negara (30) selaku pemimpin Padepokan
Surosowan saat ini pada awal abad ke 20.
Kala
mendengar kata debus, yang terlintas dalam benak masyarakat awam adalah sebuah
ilmu pertunjukkan yang menggunakan media seperti benda tajam, dan ilmu
kekebalan. Debus sendiri merupakan ilmu yang sudah berkembang dari abad ke 16
di daerah Banten. Di masa itu seni pertunjukkan yang mempertontonkan kekebalan
ini digunakan sebagai ilmu untuk melawan penjajah oleh pejuang tanah
air. Sampai pada akhirnya, kesenian ini pun beralih fungsi menjadi sebuah seni
pertunjukkan yang digunakan untuk menghibur para raja – raja di dalam
kesultanan Surosowan di Banten.
Debus
sendiri memang merupakan seni yang lahir dari tanah Banten, yang dipopulerkan
semenjak zaman kerajaan Islam mulai meluas di daerah ini. Saat ini, debus bukan
lagi sebagai ilmu untuk berperang, namun fungsinya murni sebagai sebuah seni
pertunjukkan yang biasa dipertontonkan dalam upacara – upacara adat atau
pesta besar dalam tradisi masyarakat Banten. Salah satu padepokan tertua yang
melahirkan kesenian debus adalah padepokan Surosowan. Padepokan ini terletak di
desa Walantaka, Serang, Banten. Elang mengaku bahwa dalam silsilah keluarganya,
padepokan ini sudah diurus oleh tiga (3) generasi. Yaitu, kakeknya, ayahnya,
dan Elang sebagai generasi ketiga.
Dari
padepokan inilah lahir jawara-jawara Banten yang terkenal. Sebut saja salah
satunya adalah almarhum bapak Idris yang merupakan pendiri padepokan tersebut.
Setelah sepeninggalannya almarhun bapak Idris, padepokan ini diurus oleh
anak-anaknya yang berjumlah 9 orang. Padepokan ini adalah padepokan yang
berbasiskan kekeluargaan, jadi tidak ada struktur keorganisasian yang pasti
pada padepokan ini, namun yang menjadi ketua harian padepokan saat ini adalah
bapak Suminta yang merupakan salah satu anak laki-laki pendiri padepokan
tersebut. Selain bapak Suminta ada lagi tokoh terkenal yang juga merupakan
anak-anak dari pendiri padepokan Surosowan adalah bapak H. Muchtar Idris dan
ibu Bayi Khodijah. Padepokan Surosowan ini tidak diketahui dengan pasti kapan
didirikannya, saat mencoba menanyakan sejak kapan berdirinya padepokan ini, pak
H Muchtar Idris mengatakan bahwa pohon beringin besar yang berdiri kokoh di
depan pelataran padepokan Surosowan ini sudah ada sebelum padepokan tersebut
didirikan, itu berarti usia padepokan tersebut berkisar 100 tahunan lebih.
Padepokan
Surosowan tidak hanya melestarikan kesenian tradisional Debus, namun juga
kesenian tradisional Pencak Silat yang saat ini dipimpin dan dilatih oleh Elang
Kusuma Negara dan Mul yang juga merupakn cucu dari pendiri padepokan Surosowan.
Anggota kesenian tradisional Pencak Silat itu sendiri adalah anak-anak sekitar
daerah setempat yang ingin memperdalamai dan melestarikan kesenian tradisional
daerah tersebut.
Ada beberapa
perbedaan antara debus Surosowan dengan padepokan lainnya, yang pertama, debus
di padepokan ini merupakan gabungan antara silat dan debus. Dimana ilmu bela
diri silat, berasal dari kata silahturahmi, padepokan ini memiliki visi bahwa
seni bela diri dan pertunjukkan ini adalah sebagai ajang silahturahmi antara
tiap – tiap perguruan / padepokan, bukan masalah pamer kekuatan atau kekebalan,
namun lebih mengutamakan menjalin tali persaudaraan dan kekeluargaan dengan
masyarakat di luar.
Dalam debus
sendiri, setiap atraksi memiliki makna atau filosofi di dalamnya. Saat kita
melihat ada seorang pemain yang makan beling atau batu bara, atraksi tersebut
bukanlah hanya untuk hiburan semata. Melainkan ada nilai dan makna yang
terkandung di dalamnya. Sebagai salah satu contoh, saat ada atraksi memakan
benda – benda tidak lazim seperti bara api atau beling, atraksi itu
mensimbolkan bahwa di zaman penjajahan dulu, di masa awal debus diperkenalkan,
masyarakat Banten sangat kesulitan makanan. Bahwa di masa itu makan adalah
suatu kemewahan dan betapa sengsaranya mereka dalam mencari makan. Lalu, adegan
mengupas kelapa dengan gigi, itu menggambarkan bahwa di masa dulu alat tidak
ada. Semua kegiatan harus dilakukan dengan anggota tubuh yang ada karena
keterbatasan alat. Tidak adanya benda tajam untuk mengupas kelapa, membuktikan
bahwa masyarakat Banten zaman dulu harus memaksimalkan potensi anggota tubuhnya
sebagai pengganti alat – alat yang biasanya digunakan. Setiap gerakan yang
ditampilkan adalah bentuk atau gambaran kehidupan masyarakat Banten zaman
dahulu sebagai bentuk protes terhadap penjajah.
Dengan
menyaksikan sendiri kesenian Debus dan Pencak Silat yang ada di Padepokan
Surosowan, saya merasa bangga sekali dengan warisan budaya Indonesia yang indah,
kaya dan mempesona. Sebagai generasi muda sudah sepatutnya kita
melestarikan, mempertahankan dan memperkenalkan kebudayaan yang kita miliki
kepada anak bangsa dan dunia luar. Jadilah anak muda yang bangga dengan
kebudayaan bangsa, anak bangsa yang menghargai warisan nenek moyang. Jangan
pernah mau dilenakan dengan kebudayaan negara luar yang belum tentu semuanya
baik untuk kita terapkan di kehidupan sehari-hari.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar