Aliran
Jabariyah
1. Latar
Belakang Lahirnya Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam
kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu
sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa.
Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia
dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). [3]
Menurut Harun Nasution Jabariyah
adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan
dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan
yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan
oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa
Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[4]
Adapun mengenai latar belakang
lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra
menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah.
Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan
manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[5]
Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi
adalah Jahm bin Safwan,[6]
yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa
paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat
Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah
memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari
terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata
dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya
tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat
untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[7]
Harun Nasution menjelaskan bahwa
dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah
keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[8]
Terlepas dari perbedaan pendapat
tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat
ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah,
diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b. QS al-Anfal: 17
Dan bukan kamu yang melempar ketika
kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk
membinasakan mereka
c. QS al-Insan: 30
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan
itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Selain ayat-ayat Alquran di atas
benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu
ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir
Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah
Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi,
pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar
itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh
karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman
potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir
Tuhan.
c. Ketika
Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan
siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju
perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala
sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan
bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal
perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa,
gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan
tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya
paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh
berkembang di Syiria.[9]
Di samping adanya bibit pengaruh
faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya
pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab
Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[10]
Dengan demikian, latar belakang
lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang
berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan
Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu
adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran
ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya
paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham
Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya
keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang
ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat
Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. [11]
2.
Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat
dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran
ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa
manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang
keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga
dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan
di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan
iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal
ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk.
Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar,
dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat
kelak.[12]
Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[13]
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan
tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu
yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat
yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[14]
Dengan demikian ajaran Jabariyah
yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan
kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas
sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan
manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik
dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan
ketentuan Allah.
Kedua, ajaran
Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu
positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang
dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan
yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin
Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan
adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja
dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[15]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar