Selasa, 01 Desember 2015

PENDIDIKAN FENOMENOLOGI


FILSAFAT PENDIDIKAN FENOMENOLOGI



Disusun oleh:
Meilinda Hijriyani (2227142077)
Siti Hartinah (2227141519)
Supartini (2227140961)

KELOMPOK 13
KELAS : IIIC




PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
TAHUN 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya lah makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada kesempatan kali ini kami akan memaparkan sebuah karya tulis yang disusun dalam sebuah makalah yang dengan judul “Filsafat Pendidikan Fenomenologi”.
Tentunya dalam pelaksanaanya hingga selesainya makalah ini dibuat akan ditemukan kekurangan yang mohon untuk dimaklumi. Sebab dalam prosesnya kami sebagai penyusun masih dalam proses pembelajaran. Akhirnya dengan selesai disusunnya makalah ini semoga dapat bermanfaat dan mampu dijadikan sumber informasi bagi kita semua.



Serang, November 2015



Penyusun












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang..................................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah................................................................................................ 1
C.       Tujuan Penulisan.................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    PengertianFilsafat Fenomenologi.......................................................................... 2
B.     Tokoh filsafat Fenomenologi................................................................................. 3
C.     Fenomenologi Sebagai Aliran Epistimologi.......................................................... 5
D.    Fenomenologi dalam Pendidikan.......................................................................... 7
E.     Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan............................ 10
BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 15










BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam konteks apapun memakai kata fenomenologi,  ingat bahwa kepada perbedaan yang dibawakan oleh Kant antara fhenomenon atau penampakkan realitas kepada kesadaran, dan noumenon atau wujud dari realitas itu sendiri. Froblema untuk mengompromikan realitas dengan fikiran tentang realitas menjadi lebih sulit karena tidak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran, dan tidak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas. Seorang filosof itu mengabdikan diri untuk menembus rahasia, filosof fenomenologi berusaha untuk memecahkan dualisme itu.
Kata fenomena berasal dari kata Yunani “fenomenon”, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomena adalah suatu aliran yang membicarakan fenomenon atau segala sesuatu yang menampakkan diri.
Jika ingin mengetahui sesuatu benda itu apa, dan persoalan-persoalan ini adalah tugas para fenomenologis, kita harus menyelidiki kesadaran kita terhadap benda itu. Kalau hal tersebut tidak dapat jawaban, maka tidak adalah sesuatu yang dapat memberinya.
B.       Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis akan menyajikannya materi sesuai dengan kerangka rumusan masalah yang penulis buat, sehingga makalah ini tidak akan keluar dari obyek pembahasan. Adapun rumusan masalah tersebut yaitu.
1.      Apakah yang dimaksud dengan fenomenologi?
2.      Siapakah tokoh-tokoh aliran filsafat fenomenologi?
3.      Bagaimana Fenomenologi sebagai aliran epistimologi?
4.      Bagaimana Fenomenologi dalam Pendidikan?
C.      Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas yaitu :
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan filsafat fenomenologi,
2.      Mengetahui pendiri filsafat fenomenologi,
3.      Mengetahui Fenomenologi sebagai aliran epistimologi
4.      Mengetahui bagaimana fenomenologi dalam pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT PENDIDIKAN FENOMENOLOGI

A.      Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni

B.       Tokoh-Tokoh Filsafat Fenomenologi
1)      Edmund Husserl (1859-1938)
Edmund Husserl adalah pelopor filsafat fenomenologi. Ia lahir di Prosswitz (Moravia) pada tahun 1859. Semula ia belajar ilmu pasti di Wina, tetapi kemudian ia berpindah studi ke filsafat. Berturut-turut ia menjabar guru besar di Universitas Halle, Gotingen dan Freiburg. Banyak sekali buah karyanya, akan tetapi belum semuanya diterbitkan. Diantara yang telah diterbitkan ialah: Logische Untersuchungen, atau “Penyelidikan-penyelidikan yang logis” (1900-1901), Ideen zu einer reinen Phanamenologie atau “Idea-idea bagi suatu fenomenologi yang murni” (1913), Formale und transdentale Logik atau “Logika yang formal dan transdental” (1929) dan Erfahrung und Urteil atau “pengalaman dan Pertimbangan” (1930).
MenurutHusserl hukum-hukum logika yang memberi kepastian, yang berlaku, tidak mungkin bersifat a posteriori, sebagai hasil pengalaman, tapi bersifat a priori. Umpamanya asas pemikiran yang berbunyi: A tak mungkin sekaligus A dan bukan A, artinya, tidak mungkin bahwa jikalau A adalah A, maka A sekaligus juga bukan A. Asas pemikiran ini tetap berlaku, juga seandainya tiada seorangpun yang memikirkannya. Hal ini sama dengan kenyataan, bahwa 2 x 2 = 4. Juga seandainya tiada seorang pun yang menghitungnya, patokan itu tetap berlaku, pasti. Oleh karena itu logika sejenis dengan ilmu pasti, karena cara hukum-hukumnya berlaku adalah sama.

2)      Max Scheler (1874-1928)
Max Scheler adalah seorang penganut filsafat fenomenologi yang menyebarluaskan gagasan Husserl. Ia telah meninggalkan kesan yang mendalam sekali karena ia mempunyai cara yang asli untuk menerapkan dan mengelompokkan gagasan-gagasan Husserl, serta mempunyai cara menguraikan yang dijiwai oleh seluruh pribadinya.
Pada tahun 1874 ia dilahirkan di Munshen. Setelah belajar di Munchen, Berlin. Pada tahun 1919 ia menjabat guru besar di Koln dan meninggal dunia di Frankfurt pada tahun 1928. Banyak buku yang ditulis, sekalipun banyak sekali metode cara pemikiran fenomenologis yang terdapat di dalam karya-karyanya, namun, tekanannya berbeda dengan Husserl. Scheler jelas adalah seorang realis, yang memusatkan perhatiannya kepada kenyataan dan hidup yang konkrit.
Seperti halnya dengan Husserl, filsafat Scheler juga mengalami perkembangan. Disini hanya sebagian saja yang akan dibicarakan, yaitu bagian filsafatnya yang menampakkan kelanjutan pemikiran Husserl. Metode fenomenologis tentang “penilaian hakikat” oleh Scheler diterapkan di bidang teori pengenalan, etika, filsafat kebudayaan dan keagamaan, serta bidang nilai. Jasanya besar sekali dalam pemikiran tentang nilai ini.

3)      Martin Heidegger (1889-1976)
Martin Heidegger lahir di Mebkirch, Jerman pada tanggal 26 Desember 1889 dan meninggal pada tanggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun. Ia adalah seorang filusuf asal Jerman. Ia belajar di universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas Fenomenologi, kemudian menjadi profesor disana pada 1928. Ia mempengaruhi banyak filusuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-luc nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya secara mendalam. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika (muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang dan pascamodernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan ontologis. Artinya, pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut makna keberadaan, atau apa arti bagi manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Selain tokoh fenomenologi, Martin Heidegger juga adalah tokoh eksistensialisme, ia mengemukakan bahwa keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan Antologi, artinya jika persoalan ini dihubungakan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metoda untuk ini adalah fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu. Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tepat di tengah-tengah dunia sekitar. Keberadaan manusia disebut Desein. Berada artinya menempati atau mengambil tempat.

C.      Fenomenologi Sebagai Aliran Epistimologi
Sebagai tokoh Fenomenologi, Husserl memiliki titik balik metodis dalam menangkap suatu obyek pengertian menurut keaslianya. Dalam hal ini ada tiga macam reduksi yaitu; Reduksi eidetis, Fenomenologis, dan reduksi transcendental.
1)      Reduksi Fenomenologi
Kata Fenomenologi ini berartikan kata atau ucapan, rasio, atau pertimbangan. Dalam arti luas, Fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang nampak. Dalam arti yang sempit yaitu ilmu yang membicarakan tentang fenomena-fenomena yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Selanjutnya untuk menagkap atau mencerna suatu pengertian fenomena dari sebuah obyek dalam wujud yang semurni-murninya, menurut Husserl harus diadakan penyaringan atau reduksi.
Dengan kata lain, Reduksi Fenomenologis dapat ditempuh dengan menyisihkan ( menyaring) pengalaman pengamatan pertama. Pengalaman inderawi itu ditolak, tetapi perlu disisihkan dan disaring terlebih dahulu, sehingga tersingkirlah segala prasangka, pranggapan, prateori, prakonsepsi, baik yang berdasarkan keyakinan tradisional maupun yang berdasarkan agama, bahkan seluruh keyakinan dan pandangan yang telah dimiliki sebelumnya.
Fenomena seperti ini adalah segala sesuatu yang menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari, tidak memperhatikan penampakkan itu, apa yang dilihat secara spontan sudah cukup meyakinkan bahwa objek yang dilihat itu adalah real atau nyata. Kita telah meyakininya sebagai realitas diluar. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya, dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara intuitif, apa yang dianggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu, untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subyektifitas disingkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori, kebiasaan, dan pandangan yang telah membentuk pikiran memandang sesuatu (fenomena). Sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Oleh karena itu, reduksi ini disebut reduksi fenomenologi yang pertama merupakan pembersih diri dari segala subyektifitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas.
2)      Reduksi Eidetis
Eidetis berasal dari kata “eidos” yaitu intisari. Reduksi Eidetis adalah penyaringan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, intisari atau realitas fenomen. Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek, dan profil dalam fenomena yang  hanya kebetulan disampingkan. Karena, aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks, mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.
Menurut Husserl, reduksi Eidetis ini dimaksudkan untuk menemukan eidos yang intisarinya atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Jadi hasil reduksi kedua adalah pemilikan hakikat. Disinilah kita melihat hakikat sesuatu dan inilah pengertian yang sejati.
Untuk menjelaskan reduksi ini agar mudah dipahami, kita kembali pada pemahaman obyek material yaitu rumah. Sisanya mewujudkan gejala rumah yang tampak pada kita, misalnya besarnya, kokohnya, bahan-bahanya, desainya, dan sebagainya. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya manusia hakikatnya adalah mati. Hakikat yang dimaksud adalah mencari struktur fundamental yang meliputi gabungan dari isi fundamental dan semua sifat hakiki dan semua relasi hakiki dengan kesadaran dengan obyek yang disadari.
Hakikat (realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meluputi isi fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomena. Kemudian, dikurangi atau ditambah salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi Eidetis menunjukkan bahwa dalam fenomenologi, Kriteria koherasi beralaku. Artinya pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan. Pada umumnya, pengikut-pengikutnya menyetujuai idealisme Husserl, hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil oleh pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang menimbulkan idealisme transcendental.
3)      Reduksi Transendental
Di dalam reduksi transcendental, ini bukan lagi mengenai, obyek atau fenomena, tetapi khusus pengarahan ke subyek. Mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai akt-akt kesadaran sendiri yang bersifat transcendental. Fenomenologi harus menggambarkan cara berjalanya kesadaran transcendental, sedangkan reduksi transcendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris, sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainya. Kesadaran diri yang telah bebas dari kesadaran empiris itu mengetahui seluruh pengalaman, oleh karenaya bersifat transcendental.
Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai memandang sesuatu secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya,  tidak dengan mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu, atau pemahaman kita yang sepontan terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang akan dituju. Yang demikian hanyalah pandangan pertama. Kemudian harus melakukan pandangan kedua, meninggalkan segala tabir yang menghalangi dalam menemukan hakikat objek, dan kembali kepada objek secara langsung.
Pendekatan fenomenologi ini sangat besar pentingnya di dalam filsafat belakangan ini. Bahkan pendekatan ini, digunakan dalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu sosial dan matematika. J. F Donceel F. J, misalnya, telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia di dalam bukunya Philosophical Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan metode fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah polotik, kebudayaan-kebudayaan dan agama. [Juhaya S. Pradja, 2000: 121-125].

D.      Fenomenologi dalam Pendidikan
Dunia pendidikan (pedagogik) tidak menggunakan metode deduktif spekulatif, dalam investigasinya berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogik yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomena yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya.Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekuensi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang faktual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogik didahului dan diikuti oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yang menjadi inti dari batang tubuh pedagogik.
a.      Dasar Ontologis Ilmu Pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya) Agar pendidikan dalam praktiknya terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya.Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil ulangan blok, ujian tengah semester, DANUAN atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
b.      Dasar Epistemologis Pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis.Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan untuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahawa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942)

·         Peletakan dasar-dasar filsafat epistemonologi dapat di lakukan dengan beberapa pendekatan seperti yang di uraikan berikut:
1.         Pendekatan filsafatnya berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Analisis menunjukkan bahwa kesadaran itu sungguh-sungguh selalu terarah kepada obyek.
2.         Orang harus berpikir, dengan memulai dengan mengamati hal sendiri, tanpa dasar apapun. Memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman-pengalamannya sendiri tentang realita dan menjauhkan diri dari meneliti dan mengulangi (teori orang lain).
3.         Fenomenologi kebenaran dibuktikan berdasarkan ditemukannya yang essensial.
4.         Fenomenologi menerima kebenaran di luar empirik indrawi. Oleh sebab itu mereka menerima kebenaran sensual, kebenaran logik, ethik dan transedental.
5.         Fenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercayainya.
6.         Fenomenologi lebih merupakan sikap bukan suatu prosedur khusus yang diikuti pemikirannya (diskusi, induksi, observsi dll). Dalam hubungan ini hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi.

Dari pendekatan-pendekatan tersebut maka jelaslah bahwa phenomenologik berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya

c.       Dasar Aksiologis Pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

E.       Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
 Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya.
Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.


















BAB III
PENUTUP

1.        Kata fenomena berasal dari kata Yunani “fenomenon”, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomena adalah suatu aliran yang membicarakan fenomenon atau segala sesuatu yang menampakkan diri.
2.        Tokoh-tokoh aliran fenomenologi antara lain : Edmund Husserl (1859-1938),Husserl membedakan antara dunia yang dikenal denga sains dan dunia dimana kita hidup.Max Scheler (1874-1928), filsafat Scheler juga mengalami perkembangan. Disini hanya sebagian saja yang akan dibicarakan, yaitu bagian filsafatnya yang menampakkan kelanjutan pemikiran Husserl. Metode fenomenologis tentang “penilaian hakikat” oleh Scheler diterapkan di bidang teori pengenalan, etika, filsafat kebudayaan dan keagamaan, serta bidang nilai. Martin Heidegger (1889-1976),Selain tokoh fenomenologi, Martin Heidegger juga adalah tokoh eksistensialisme, ia mengemukakan bahwa keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan Antologi, artinya jika persoalan ini dihubungakan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metoda untuk ini adalah fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu.
3.        Inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada “benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat Zu den Sactien (to the things) kembali pada benda-benda, yaitu bahwa “benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi tergantung kepada orang-orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
4.        Reduksi Fenomenologi, Fenomena ini adalah segala sesuatu yang menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakkan itu, apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat itu adalah real atau nyata.
5.        Reduksi Eidetis adalah penyaringan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, intisari atau realitas fenomen.
6.        Reduksi Eidetis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi, criteria koherasi beralaku. Artinya pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan. Pada umumnya, pengikut-pengikutnya yang menyetujuai idealisme Husserl, hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil oleh pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang menimbulkan idealisme transcendental.
7.        Reduksi transcendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris, sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainya. Kesadaran diri yang telah bebas dari kesadaran empiris itu mengetahui seluruh pengalaman, oleh karenaya bersifat transcendental.
8.        Fenomenologi dalam Pendidikan. Dunia pendidikan (pedagogik) tidak menggunakan metode deduktif spekulatif, dalam investigasinya berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogik yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomena yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative.
9.        Kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengeahuan. Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
















DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar