FILSAFAT PENDIDIKAN FENOMENOLOGI

Disusun
oleh:
Meilinda
Hijriyani (2227142077)
Siti Hartinah (2227141519)
Supartini
(2227140961)
KELOMPOK 13
KELAS : IIIC
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
TAHUN
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
lah makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada kesempatan kali
ini kami akan memaparkan sebuah karya tulis yang disusun dalam sebuah makalah
yang dengan judul “Filsafat Pendidikan Fenomenologi”.
Tentunya
dalam pelaksanaanya hingga selesainya makalah ini dibuat akan ditemukan
kekurangan yang mohon untuk dimaklumi. Sebab dalam prosesnya kami sebagai
penyusun masih dalam proses pembelajaran. Akhirnya dengan selesai disusunnya
makalah ini semoga dapat bermanfaat dan mampu dijadikan sumber informasi bagi
kita semua.
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR
ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................................ 1
C.
Tujuan Penulisan.................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
PengertianFilsafat Fenomenologi..........................................................................
2
B.
Tokoh filsafat Fenomenologi................................................................................. 3
C. Fenomenologi Sebagai Aliran Epistimologi.......................................................... 5
D.
Fenomenologi dalam Pendidikan.......................................................................... 7
E. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan............................ 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 15
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
konteks apapun memakai kata fenomenologi, ingat bahwa kepada perbedaan
yang dibawakan oleh Kant antara fhenomenon atau penampakkan realitas kepada
kesadaran, dan noumenon atau wujud dari realitas itu sendiri. Froblema untuk
mengompromikan realitas dengan fikiran tentang realitas menjadi lebih sulit
karena tidak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran, dan
tidak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas. Seorang
filosof itu mengabdikan diri untuk menembus rahasia, filosof fenomenologi
berusaha untuk memecahkan dualisme itu.
Kata
fenomena berasal dari kata Yunani “fenomenon”, yaitu sesuatu yang
tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai
istilah gejala. Jadi fenomena adalah suatu aliran yang membicarakan fenomenon
atau segala sesuatu yang menampakkan diri.
Jika ingin
mengetahui sesuatu benda itu apa, dan persoalan-persoalan ini adalah tugas para
fenomenologis, kita harus menyelidiki kesadaran kita terhadap benda itu. Kalau
hal tersebut tidak dapat jawaban, maka tidak adalah sesuatu yang dapat
memberinya.
B. Rumusan
Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis akan menyajikannya materi sesuai
dengan kerangka rumusan masalah yang penulis buat, sehingga makalah ini tidak
akan keluar dari obyek pembahasan. Adapun rumusan masalah tersebut yaitu.
1. Apakah yang
dimaksud dengan fenomenologi?
2. Siapakah
tokoh-tokoh aliran filsafat fenomenologi?
3. Bagaimana Fenomenologi sebagai aliran epistimologi?
4. Bagaimana
Fenomenologi dalam Pendidikan?
C. Tujuan
Masalah
Adapun tujuan dari
rumusan masalah diatas yaitu :
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan filsafat fenomenologi,
2. Mengetahui
pendiri filsafat fenomenologi,
3. Mengetahui Fenomenologi sebagai aliran epistimologi
4. Mengetahui
bagaimana fenomenologi dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT PENDIDIKAN FENOMENOLOGI
A. Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris:
Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon
berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti
kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat
diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens
Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas,
fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak.
Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam
filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok
suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode
fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan
fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl.
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert
(1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala
(fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif
ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi
sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari
semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral,
estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya
difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau
Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya
menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga
konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi
merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang
murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik
fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri
kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya
dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang
kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran
kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi
pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian
fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu
den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni
B. Tokoh-Tokoh Filsafat Fenomenologi
1) Edmund Husserl
(1859-1938)
Edmund
Husserl adalah pelopor filsafat fenomenologi. Ia lahir di Prosswitz (Moravia)
pada tahun 1859. Semula ia belajar ilmu pasti di Wina, tetapi kemudian ia
berpindah studi ke filsafat. Berturut-turut ia menjabar guru besar di
Universitas Halle, Gotingen dan Freiburg. Banyak sekali buah karyanya, akan
tetapi belum semuanya diterbitkan. Diantara yang telah diterbitkan ialah:
Logische Untersuchungen, atau “Penyelidikan-penyelidikan yang logis”
(1900-1901), Ideen zu einer reinen Phanamenologie atau “Idea-idea bagi suatu
fenomenologi yang murni” (1913), Formale und transdentale Logik atau “Logika
yang formal dan transdental” (1929) dan Erfahrung und Urteil atau “pengalaman
dan Pertimbangan” (1930).
MenurutHusserl
hukum-hukum logika yang memberi kepastian, yang berlaku, tidak mungkin bersifat
a posteriori, sebagai hasil pengalaman, tapi bersifat a priori.
Umpamanya asas pemikiran yang berbunyi: A tak mungkin sekaligus A dan bukan A,
artinya, tidak mungkin bahwa jikalau A adalah A, maka A sekaligus juga bukan A.
Asas pemikiran ini tetap berlaku, juga seandainya tiada seorangpun yang
memikirkannya. Hal ini sama dengan kenyataan, bahwa 2 x 2 = 4. Juga seandainya
tiada seorang pun yang menghitungnya, patokan itu tetap berlaku, pasti. Oleh
karena itu logika sejenis dengan ilmu pasti, karena cara hukum-hukumnya berlaku
adalah sama.
2) Max Scheler
(1874-1928)
Max
Scheler adalah seorang penganut filsafat fenomenologi yang menyebarluaskan
gagasan Husserl. Ia telah meninggalkan kesan yang mendalam sekali karena ia
mempunyai cara yang asli untuk menerapkan dan mengelompokkan gagasan-gagasan
Husserl, serta mempunyai cara menguraikan yang dijiwai oleh seluruh pribadinya.
Pada
tahun 1874 ia dilahirkan di Munshen. Setelah belajar di Munchen, Berlin. Pada
tahun 1919 ia menjabat guru besar di Koln dan meninggal dunia di Frankfurt pada
tahun 1928. Banyak buku yang ditulis, sekalipun banyak sekali metode cara
pemikiran fenomenologis yang terdapat di dalam karya-karyanya, namun,
tekanannya berbeda dengan Husserl. Scheler jelas adalah seorang realis, yang
memusatkan perhatiannya kepada kenyataan dan hidup yang konkrit.
Seperti
halnya dengan Husserl, filsafat Scheler juga mengalami perkembangan. Disini
hanya sebagian saja yang akan dibicarakan, yaitu bagian filsafatnya yang
menampakkan kelanjutan pemikiran Husserl. Metode fenomenologis tentang “penilaian
hakikat” oleh Scheler diterapkan di bidang teori pengenalan, etika,
filsafat kebudayaan dan keagamaan, serta bidang nilai. Jasanya besar sekali
dalam pemikiran tentang nilai ini.
3) Martin Heidegger
(1889-1976)
Martin
Heidegger lahir di Mebkirch, Jerman pada tanggal 26 Desember 1889 dan meninggal
pada tanggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun. Ia adalah seorang filusuf asal
Jerman. Ia belajar di universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas
Fenomenologi, kemudian menjadi profesor disana pada 1928. Ia mempengaruhi
banyak filusuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans
Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Jacques Derrida, Michel
Foucault, Jean-luc nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari
tulisan-tulisannya secara mendalam. Selain hubungannya dengan fenomenologi,
Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan
terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika (muncul sebagai sebuah
gerakan dominan dalam teologi Protestan Eropa, yang menyatakan bahwa
hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang dan
pascamodernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari
pertanyaan-pertanyaan ontologis. Artinya, pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut
makna keberadaan, atau apa arti bagi manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan
anggota akademik yang penting dari Nationalsozialistische Deutsche
Arbeiterpartei.
Selain
tokoh fenomenologi, Martin Heidegger juga adalah tokoh eksistensialisme, ia
mengemukakan bahwa keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan Antologi,
artinya jika persoalan ini dihubungakan dengan manusia dan dicari artinya dalam
hubungan itu. Metoda untuk ini adalah fenomenologis. Jadi yang penting adalah
menemukan arti keberadaan itu. Satu-satunya yang berada dalam arti yang
sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan
yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tepat di tengah-tengah dunia
sekitar. Keberadaan manusia disebut Desein. Berada artinya menempati atau
mengambil tempat.
C. Fenomenologi
Sebagai Aliran Epistimologi
Sebagai
tokoh Fenomenologi, Husserl memiliki titik balik metodis dalam menangkap suatu
obyek pengertian menurut keaslianya. Dalam hal ini ada tiga macam reduksi
yaitu; Reduksi eidetis, Fenomenologis, dan reduksi transcendental.
1) Reduksi
Fenomenologi
Kata Fenomenologi
ini berartikan kata atau ucapan, rasio, atau pertimbangan. Dalam arti luas,
Fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang nampak.
Dalam arti yang sempit yaitu ilmu yang membicarakan tentang fenomena-fenomena
yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Selanjutnya untuk menagkap atau
mencerna suatu pengertian fenomena dari sebuah obyek dalam wujud yang
semurni-murninya, menurut Husserl harus diadakan penyaringan atau reduksi.
Dengan kata
lain, Reduksi Fenomenologis dapat ditempuh dengan menyisihkan ( menyaring)
pengalaman pengamatan pertama. Pengalaman inderawi itu ditolak, tetapi perlu
disisihkan dan disaring terlebih dahulu, sehingga tersingkirlah segala
prasangka, pranggapan, prateori, prakonsepsi, baik yang berdasarkan keyakinan
tradisional maupun yang berdasarkan agama, bahkan seluruh keyakinan dan
pandangan yang telah dimiliki sebelumnya.
Fenomena
seperti ini adalah segala sesuatu yang menampakkan diri. Dalam praktik hidup
sehari-hari, tidak memperhatikan penampakkan itu, apa yang dilihat secara
spontan sudah cukup meyakinkan bahwa objek yang dilihat itu adalah real atau
nyata. Kita telah meyakininya sebagai realitas diluar. Akan tetapi, karena yang
dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya,
dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara intuitif, apa yang
dianggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu, untuk sementara harus
ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subyektifitas disingkirkan.
Termasuk di dalam hal ini teori, kebiasaan, dan pandangan yang telah membentuk
pikiran memandang sesuatu (fenomena). Sehingga yang timbul di dalam kesadaran
adalah fenomena itu sendiri. Oleh karena itu, reduksi ini disebut reduksi
fenomenologi yang pertama merupakan pembersih diri dari segala subyektifitas
yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas.
2) Reduksi
Eidetis
Eidetis
berasal dari kata “eidos” yaitu intisari. Reduksi Eidetis adalah
penyaringan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos,
intisari atau realitas fenomen. Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek, dan
profil dalam fenomena yang hanya kebetulan disampingkan. Karena, aspek
dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah
kompleks, mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.
Menurut
Husserl, reduksi Eidetis ini dimaksudkan untuk menemukan eidos yang intisarinya
atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Jadi hasil reduksi kedua adalah
pemilikan hakikat. Disinilah kita melihat hakikat sesuatu dan inilah pengertian
yang sejati.
Untuk
menjelaskan reduksi ini agar mudah dipahami, kita kembali pada pemahaman obyek
material yaitu rumah. Sisanya mewujudkan gejala rumah yang tampak pada kita,
misalnya besarnya, kokohnya, bahan-bahanya, desainya, dan sebagainya. Hakikat
yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya manusia hakikatnya adalah
mati. Hakikat yang dimaksud adalah mencari struktur fundamental yang meliputi
gabungan dari isi fundamental dan semua sifat hakiki dan semua relasi hakiki
dengan kesadaran dengan obyek yang disadari.
Hakikat
(realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meluputi isi
fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat
tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh.
Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomena.
Kemudian, dikurangi atau ditambah salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan
yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi
Eidetis menunjukkan bahwa dalam fenomenologi, Kriteria koherasi beralaku.
Artinya pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat
disatukan. Pada umumnya, pengikut-pengikutnya menyetujuai idealisme Husserl,
hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya.
Pendekatan fenomenologis yang diambil oleh pengikut-pengikutnya tidak termasuk
reduksi terakhir yang menimbulkan idealisme transcendental.
3) Reduksi
Transendental
Di dalam
reduksi transcendental, ini bukan lagi mengenai, obyek atau fenomena, tetapi
khusus pengarahan ke subyek. Mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai
akt-akt kesadaran sendiri yang bersifat transcendental. Fenomenologi harus
menggambarkan cara berjalanya kesadaran transcendental, sedangkan reduksi
transcendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran
empiris, sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada
keterhubungan dengan fenomena lainya. Kesadaran diri yang telah bebas dari
kesadaran empiris itu mengetahui seluruh pengalaman, oleh karenaya bersifat
transcendental.
Proses
reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai memandang sesuatu
secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya, tidak dengan mudah
menerima pengertian dan rumusan seperti itu, atau pemahaman kita yang sepontan
terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang akan dituju. Yang
demikian hanyalah pandangan pertama. Kemudian harus melakukan pandangan kedua,
meninggalkan segala tabir yang menghalangi dalam menemukan hakikat objek, dan
kembali kepada objek secara langsung.
Pendekatan fenomenologi ini sangat
besar pentingnya di dalam filsafat belakangan ini. Bahkan pendekatan ini,
digunakan dalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu sosial dan matematika. J. F
Donceel F. J, misalnya, telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam
memahami manusia di dalam bukunya Philosophical Antropology. Roger
Garaudy juga menggunakan metode fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat,
sejarah polotik, kebudayaan-kebudayaan dan agama. [Juhaya S. Pradja, 2000:
121-125].
D. Fenomenologi dalam Pendidikan
Dunia
pendidikan (pedagogik) tidak menggunakan metode deduktif spekulatif, dalam
investigasinya berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis.
Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogik
yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomena yang
bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld
(1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam
metode penelitiannya.Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir
filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris
berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri
pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekuensi yang filosofis,
adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang faktual.
Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir
filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogik didahului
dan diikuti oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan.
Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara mikro yang menurut Langevald
mengandung keenam komponen yang menjadi inti dari batang tubuh pedagogik.
a.
Dasar Ontologis Ilmu Pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu
pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan
melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris.
Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap
aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi
pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai
warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship
atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya) Agar pendidikan dalam praktiknya
terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada
manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi
sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk
berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal
itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan
makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang
terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem
nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat
mutlak bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang
berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan
sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai
pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya.Jika
pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I)
akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor
hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan
hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya
hasil ulangan blok, ujian tengah semester, DANUAN atau pemerataan pendidikan
yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas
manusianya belum tentu utuh.
b.
Dasar Epistemologis Pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan
demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun
pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun
telaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis
yang akan menjalin studi empirik dengan studi
kualitatif-fenomenologis.Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data
secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan
oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan
objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian
(verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan untuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka validitas internal
harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti
penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan
penelitian ex post facto.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahawa dalam
menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan
ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai
ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri
sekalipun tidak dapat hanya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun
eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran
pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan
sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942)
·
Peletakan dasar-dasar filsafat epistemonologi dapat di
lakukan dengan beberapa pendekatan seperti yang di uraikan berikut:
1.
Pendekatan filsafatnya berpusat pada analisis terhadap
gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Analisis menunjukkan bahwa
kesadaran itu sungguh-sungguh selalu terarah kepada obyek.
2.
Orang harus berpikir, dengan memulai dengan mengamati
hal sendiri, tanpa dasar apapun. Memulai kegiatannya dengan meneliti
pengalaman-pengalamannya sendiri tentang realita dan menjauhkan diri dari
meneliti dan mengulangi (teori orang lain).
3.
Fenomenologi kebenaran dibuktikan berdasarkan ditemukannya
yang essensial.
4.
Fenomenologi menerima kebenaran di luar empirik
indrawi. Oleh sebab itu mereka menerima kebenaran sensual, kebenaran logik,
ethik dan transedental.
5.
Fenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji
korespondensinya dengan yang dipercayainya.
6.
Fenomenologi lebih merupakan sikap bukan suatu
prosedur khusus yang diikuti pemikirannya (diskusi, induksi, observsi dll).
Dalam hubungan ini hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi.
Dari
pendekatan-pendekatan tersebut maka jelaslah bahwa phenomenologik berusaha
mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan
tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya
c.
Dasar Aksiologis Pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom
tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi
pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu
nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni
untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar
kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang
negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan
demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang
sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok.
Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang
sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan
memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun
harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan
dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku
kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam
kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr
Perason,1990).
E. Kontribusi
Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan
fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt
(“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas
konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu
sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund
Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental
Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt )
merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,
yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis
seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi
alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini
telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah
menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia
kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana
manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi
antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk
kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani,
sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan
inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini
menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak
dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu
alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin
ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna.
Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku
dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke
dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat
menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat
berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi
dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt
(dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi
kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari
sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat
ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’
yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial,
dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah,
dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan
fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka
konteks sosio-kultur yang membangunnya.
Ini artinya
unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya
suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.
Selanjutnya,
fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek
yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau
tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan
cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan
kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan
atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
BAB III
PENUTUP
1.
Kata fenomena berasal dari kata Yunani “fenomenon”,
yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa
Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomena adalah suatu aliran yang
membicarakan fenomenon atau segala sesuatu yang menampakkan diri.
2.
Tokoh-tokoh aliran fenomenologi antara lain : Edmund Husserl (1859-1938),Husserl membedakan antara dunia yang dikenal denga
sains dan dunia dimana kita hidup.Max Scheler (1874-1928), filsafat Scheler juga
mengalami perkembangan. Disini hanya sebagian saja yang akan dibicarakan, yaitu
bagian filsafatnya yang menampakkan kelanjutan pemikiran Husserl. Metode
fenomenologis tentang “penilaian hakikat” oleh Scheler diterapkan di
bidang teori pengenalan, etika, filsafat kebudayaan dan keagamaan, serta bidang
nilai. Martin Heidegger (1889-1976),Selain tokoh fenomenologi, Martin
Heidegger juga adalah tokoh eksistensialisme, ia mengemukakan bahwa keberadaan
hanya akan dapat dijawab melalui jalan Antologi, artinya jika persoalan ini
dihubungakan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metoda untuk
ini adalah fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti keberadaan
itu.
3.
Inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah
bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada
“benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan
kalimat Zu den Sactien (to the things) kembali pada benda-benda, yaitu bahwa
“benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya.
Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi tergantung kepada
orang-orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda”
itu sendiri.
4.
Reduksi Fenomenologi, Fenomena ini
adalah segala sesuatu yang menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari, kita
tidak memperhatikan penampakkan itu, apa yang kita lihat secara spontan sudah
cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat itu adalah real atau nyata.
5.
Reduksi Eidetis adalah penyaringan atau penempatan
di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, intisari atau realitas fenomen.
6.
Reduksi Eidetis ini menunjukkan bahwa dalam
fenomenologi, criteria koherasi beralaku. Artinya pengamatan-pengamatan yang
beruntun terhadap objek harus dapat disatukan. Pada umumnya,
pengikut-pengikutnya yang menyetujuai idealisme Husserl, hanya sepaham dengan
Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan
fenomenologis yang diambil oleh pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi
terakhir yang menimbulkan idealisme transcendental.
7.
Reduksi transcendental harus menemukan kesadaran murni
dengan menyisihkan kesadaran empiris, sehingga kesadaran diri sendiri tidak
lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainya. Kesadaran diri
yang telah bebas dari kesadaran empiris itu mengetahui seluruh pengalaman, oleh
karenaya bersifat transcendental.
8.
Fenomenologi dalam Pendidikan. Dunia pendidikan
(pedagogik) tidak menggunakan metode deduktif spekulatif, dalam investigasinya
berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu
pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogik yang filosofis. Pedagogik
melakukan telaah fenomenologis atas fenomena yang bersifat empiris sekalipun
bernuansa normative.
9.
Kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu
pengeahuan. Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih
dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis
tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur
sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari
yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya
secara filosofis.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar